Ketuk Palu (28)

688 49 2
                                    

Cinta Terlarang Anak dan Suamiku (Part 28)
#Seputih_Cinta_Amelia

~Ketuk Palu~

~Aku ingin bersandar pada pohon-pohon di taman yang menyejukkan dan kicau burung-burung di atasnya yang memberi harmoni, lalu biarkan hati kita bernyanyi tentang cinta yang tak lagi mudah.~ (Brian)

“Bu, Raya akan di bawa ke ruangan operasi.”
Aku menolehkan wajah.

“Maaf saya menggangu Ibu. Saya pikir barangkali Ibu ingin mengantarnya sampai pintu ruang operasi?”

“Tidak. Biarkan saja. Aku sedang ingin menikmati kesendirianku di sini.”

“Baik, Bu. Apa ibu akan pulang? Biar saya hubungi sopir.”

“Jangan dulu. Masih ada yang harus aku selesaikan, Ran.”

“Baik, bu. Hubungi saya kalau ibu perlu bantuan. Saya ijin pulang ke rumah dulu. Dan siap datang jika ibu memerlukan.”

“Oke, pulang dan istirahat, Ran. Terima kasih, ya.”

Rany pergi meninggalkanku sendiri di sudut ruang.

***

“Mel, kamu di sini?”

Suara Mama mengagetkan lamunanku.
“Duh, Nak, kemana aja, sich, kamu? Mama kangen tauk.”

Aku memeluknya. Mama menyentuh dan mengelus satu persatu bagian tubuhku. Mama memperlakukanku bagai seorang ibu yang baru bertemu anaknya setelah di culik.
Aku tertawa, Mama, aku sedewasa ini masih diperlakukan seperti itu.

“Mama kok tahu, aku di sini?”

“Ya, Mama tanya Rany-lah. Kamu, nich, ya. Apa-apa sekarang main pergi aja tanpa ijin Mama. Kamu dari melancong kemana aja, sich? Dengar, Mel. Kamu sekarang hidup sendiri. Kalau mau kemana-mana bilanglah sama Mama. Mama khawatir dengan keadaanmu.”

Mama manyun. Duh, lagi childsih beliau.

“Hemmm, Mama, nich, ya, udah kayak apaan tau. Padahal aku baik-baik saja.”

“sini-sini.” Mama menarik tanganku untuk duduk di suatu sudut.

“Jadi gimana Reo dan Raya?”

Kuceritakan apa yang baru saja terjadi. Bahwa Reo sudah di gelandang polisi dan Amel yang sedang berada di meja operasi.

Mendengar semua penjelasanku, aku bisa melihat kegeraman dari wajahnya.

“Nah, puas-puasin deh, ya, si Reo nanti dipenjara. Biar mikir. Biarin saja, Mel. Biar rasak! Si Raya juga, biar nyaho’ gimana bebannya melahirkan tanpa ada Reo, tanpa kamu. Mama kalo inget mereka rasanya emosi Mama naik ke ubun-ubun. Astaghfirullah.”

Aku tahu Mama memang sudah benar-benar kesal kepada mereka berdua. Sebijak apapun Mama, kalau sudah berbicara tentang Raya dan Reo, rasa-rasanya hampir selalu emosi. Mungkin karena Mama gemas dan ikut merasakan aku disakiti.

“Kamu juga, Mel. Nggak usah, deh, terlalu baik sama mereka. Kamu kalau lihat mereka aja sakit ‘kan. Ngapain harus bela-belain bantu mereka lagi. Jujur Mama kesel waktu kamu pake acara menikahkan mereka, dan sekarang ngapain kamu datang ke sini segala?”

“Nggak bela-belain, sich, Ma. Cuma formalitas aja.”

“Ya, tapi dibalik kesalnya kamu ke mereka. Mama tahu kamu masih suka iba. Kamu ini memang dasarnya gak teges dan galak kaya Mama. Kamu mirip Papa kamu. Cuma karena kamu terbiasa Mama didik aja, ada sedikit sikap teges kamu. Tapi kadang kalah oleh rasa iba kamu snediri. Mama gemes sama kamu. Ada, ya, orang yang udah di sakiti, tapi masih sebaik itu kamu sama yang nyakitin.”
Aku terkekeh.

CINTA TERLARANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang