Jadi Memang Sudah Direncanakan Reo!

2.2K 82 3
                                    

Jadi Memang Sudah Direncanakan Reo! (6)

Mungkin kita punya cinta yang sama, impian yang sama, dan harapan yang sedikit lagi terwujud. Tapi ternyata semesta menghambatnya. Tetaplah setia pada janji, aku akan menunggumu, di sana, di ujung jalan
(Raya)***

Sekuat tenaga aku mencoba kembali menetralkan perasaan, menghadap-Nya.

Tapi tak bisa, sedetik kemudian aku menjerit, menangis dan tertawa berbarengan.

Rabb, kenapa aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri? Suster-suster memegangi tanganku yang meronta.

"Kita bawa Bu Amel ke dalam ruang perawatan khusus dulu, Sus," ucap Dokter jaga.

Suster menaikkanku ke kursi Roda. Membawa ke satu ruangan di sudut rumah sakit.

"Ibu istirahat dulu di sini, ya," ucap Suster.

Ah, akhirnya aku mendapat perlakuan sebagai pasien. Diinfus juga disuntik obat penenang.

Tak lama Papa dan Mama sudah hadir di sampingku.

Mama memelukku.

"Nggak apa-apa, kamu baik-baik saja, hanya kelelahan habis perjalanan jauh, Amel." Mama mengusap-usap punggungku.

"Ma, Raya hamil, Ma ... Raya hamil ...." isakku dalam pelukan.

Mama ikut terisak.

"Amel ... Papa tahu kamu kuat." Papa tersenyum menatapku.

"Yang Papa tahu kamu wanita tangguh. Ini memang berat, tapi Papa yakin kamu bisa lewati semuanya. Jangan coba memaafkan kalau nyatanya hatimu masih luka. Beri kesempatan pada hatimu untuk berpikir dan merenung lebih lama agar bisa menerima keadaan yang sudah terlanjur terjadi ini. Itu semua perlu waktu, jangan dipaksakan. Berisitirahatlah sepanjang mungkin, agar ke depan lebih lega dan bisa mengambil langkah yang selaras antara hati, emosi, dalam penerimaan yang seikhlas-ikhlasnya, sehingga kamu tidak seperti ini keadaannya," ucap Papa.

Aku terdiam mendengar kata-kata yang aku yakin keluar dari sisi terdalam hatinya.

Papa maju memelukku. Lelaki yang paling dekat denganku sebelum Reo adalah Papa. Tiba-tiba aku merasa menjadi anak kecil yang sangat butuh perhatian dan belaiannya. Ah, ya, sudah lama Papa tak memelukku.

"Sudah, Nak, jangan terlalu dipikir. Perhatikan kesehatan diri. Kamu harus tegas sama mereka. Jangan rapuh. Jangan terlalu perduli juga dengan mereka. Mereka sendiri tidak perduli sama kamu. Karena kalau mereka perduli, tak sampai perselingkuhan itu terjadi, tak sampai Raya hamil. Kamu masih inget kan gimana dengan entengnya keluar dari mulut Raya meminta Reo untuk jadi suaminya, dan Reo diam saja, tak banyak menentang Raya. Lalu sekarang Allah tunjukkan, Raya hamil. Sekali lagi, mereka tak perduli padamu, kenapa kamu harus perduli dengan mereka? Bahagiakan hidupmu seperti yang kamu mau lakukan tanpa terlalu perduli dengan penilaian-penilaian orang." nasehat Mama.

Aku merenungi perkataan kedua orang tuaku itu.

"Mungkin karena aku terlalu berharap rumah tanggaku akan bahagia, seperti rumah tangga Papa dan Mama. Memiliki impian sebuah rumah tangga yang langgeng sampai tua, sampai maut memisahkan."

Papa dan Mama terkekeh.

"Jangan samakan setiap jodoh manusia, Amel. Rejeki jodohmu mungkin hanya sampai sini, tak masalah. Setiap hubungan rumah tangga pun ada rejekinya masing-masing. Ada yang panjang sampai tua, ada yang sebentar. Papa dan Mama nggak menyalahkanmu, Mel," jelas Mama lugas.

"Yang kamu lakukan kemarin sudah benar, meminta Reo menandatangani surat cerai, dan memulangkan Raya. Tapi sepulang dari London, kamu sedikit goyah, jadinya ya seperti ini."

CINTA TERLARANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang