Permainan Kata Raya dan Reo (19)

877 53 5
                                    

#Seputih_Cinta_Amelia
#19
Permainan Kata Raya dan Reo

“Jadi kalian tinggal disini?” tanyaku.

Mereka saling pandang. Tak lama Reo berjalan menuju kursi di sebelahku. Tersenyum mencoba menghangatkan keadaan.

“Apa kabar, Mel?”

“Tak baik, karena kamu tak segera menepati janji.”

Ia mengusap hidungnya perlahan, mungkin sedang berpikir, kata-kata apa yang akan ia sampaikan padaku.

“Aku masuk ke dalam dulu, mau ganti baju.” Raya mengibas bajunya yang basah lalu pergi.
“Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri, Mel.” Reo memulai memberi memberi jawaban.

“Akan sampai kapan kamu mau menggantungku dan memeprsulit proses perceraian ini, Re?”

“Aku pasti datang, Mel. Aku akan coba untuk mempermudah semuanya.”

“Tapi kamu seperti tak ada itikad baik, Re. Aku sampai harus datang ke sini, mencari kamu. Pesan dan teleponku kamu abaikan. Apa namanya kalau bukan sengaja mempermainkan. Aku sampai memaksa diri melakukan hal yang memuakkan, mengurus pernikahan kalian. Mungkin bahkan dunia mentertawakanku. Kulakukan demi apa? Agar kamu mengerti bahwa aku serius ingin bercerai darimu. Raya sudah jadi istrimu, sudah menggantikanku. Kita sudah nggak saling memerlukan lagi. Lekas urus perceraian kita agar semuanya beres.”

Reo tertunduk menekuri lantai.

“Karena semua ini berat. Aku nggak pernah menginginkan semua ini benar-benar terjadi.”
“Kamu!”

Aku gemas mendengar jawabannya. Bahkan di saat dia sudah menjadi suami Raya, masih berani-beraninya mengatakan tak menginginkan semua terjadi. Apa yang dia lakukan kemarin-kemarin, pada Raya dan Fira. Apakah itu tak dia inginkan? Seenaknya dia bilang tak mengingkan ini terjadi!

“ Mel. Aku hanya perlu meyakinkan diri menerima ini semua. Meski sulit. Itulah sebabnya aku tak pernah sanggup membalas pesan dan teleponmu. Tapi aku pasti bantu kamu menyelesaikan semua ini. Cepat atau lambat.”

“Jangan bilang cepat atau lambat! Dan jangan berpura-pura menyesal. Aku melihat sendiri bagaimana barusan kamu begitu berbahagia bersama Raya, dirumah ini. Bercanda, merayu, bermain air, oh indahnya hidup kalian berdua saat ini! Ini yang kamu inginkan ‘kan? Lalu seenaknya di depanku kamu bilang tak menginginkan ini terjadi.”

Reo mengusap wajahnya yang kini kusut. Secepat itu ia berubah. Aku masih bisa melihat jelas bagaimana ia tadi tertawa-tawa begitu bahagia bersama istri barunya.

“Aku hanya berusaha mencoba menerima keadaan ini. Mencoba menikmati apa yang sudah menjadi takdir, apa yang sudah terjadi. Walau tak menginginkan, tapi Raya sudah menjadi istriku, kenapa tidak aku mencoba membiasakan dan menjadi bahagia dengannya.”

Ia mengucapkan ini dengan berbisik, melihat ke arah pintu. Mungkin tak ingin didengar selain aku.

“Kamu kenapa seolah-olah terpaksa, Hah? Raya jelas-jelas istri yang kamu dambakan, yang kamu janjikan akan kamu nikahi, yang kamu rela korupsi demi dia, demi punya rumah tangga baru, harapan baru. Seorang wanita yang bisa hamil dan memberimu keturunan.  Oh mengulang kata-kata ini saja sangat menyakitkan hatiku.”

“Itu dulu kata-kata hanya untuk menenangkannya. Aku tidak benar-benar ingin mewujudkan itu. Kamu sudah aku jelaskan, Mel. Bahwa Raya, Fira hanyalah pelampiasanku, pelampiasan dari dahagaku yang berlebih akanmu. Yang selalu hilang dan pergi dariku. Mengertilah, Mel. Sudah berapa kali aku menjelaskan ini padamu.”

“Kamu gila, ya Reo. Semua sudah sejauh ini. Kamu sudah mejadi suami Raya, masih mengulang untuk membahas ini.”

“Ya karena aku mau kamu benar-benar paham. Bahwa sampai kapanpun sebenarnya aku masih menginginkan kamu tetap menjadi istirku. Itulah kenapa aku tak berharap ada persidangan. Ada perceraian. Aku juga tak terima jika gugatan yang kamu ajukan adalah perihal perzinahanku. Seolah aku berzina, seolah aku salah mutlak. Tanpa ada penjelasan bahwa yang terjadi karena diirimu yang terlalu lama mengabaikanku.”

CINTA TERLARANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang