Aku punya mimpi tentang hidup yang tenang, cinta yang menghangatkan dan masa depan gemilang. Demi mewujudkan itu sedari kecil aku tak pernah malu berjualan, keliling dari kampung ke kampung, menjajakan apa pun asal halal.
Aku bukan berasal dari keluarga kaya, hidupku sederhana. Aku hanya seorang pemuda tamatan SMA. Tapi itu sudah sangat aku syukuri. Setidaknya aku masih punya bekal ilmu yung kugunakan sebagai modal hidup ke depan.
Membantu Bapak dan Mamak menyekolahkan adik-adik adalah keinginanku. Aku punya tiga orang adik, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka semua adalah anak-anak yang cerdas, selalu juara kelas.
Besar harapanku mereka akan jadi orang sukses. Biarlah aku saat ini bersusah-susah asal mereka jadi anak-anak yang bisa membanggakan Bapak dan Mamak kelak.
Pada perjalanan hidupku, berkeliling berjualan alat-alat perkakas dapur dengan mobil kecil milik bosku, aku bertemu dengan seorang gadis. Dia anggun dan kalem. Anak orang kaya tapi sikap dan gayanya sederhana sekali.
Tentu aku menyukainya. Hanya saja apa pantas aku mendekatinya. Seperti langit dan bumi, kehidupanku dengannya.
Aku mengenalnya, ketika suatu hari mobil daganganku dan Mang Jaja, asisten merangkap sopirku distop oleh salah satu asisten rumah tangganya gadis itu. Dia hendak membeli baskom-baskom kecil untuk perlengkapan dapur. Usai memilih-milih, tiba-tiba dari balik pagar rumah, muncul gadis cantik itu.
"Mbak, ini uangnya."
Mendengar suara lembut seseorang, aku melirik ke samping. Masyaa Allah, ada bidadari di sana. Bibirnya merah, rambutnya hitam panjang, matanya indah, pipinya gembil merah muda.
Mata kami saling bertatap beberapa saat, seperti ada panah yang langsung menancap dalam jantungku. Aku menangkap suatu keindahan di depan sana. Tak lama, matanya goyang, bergerak gugup lalu ia menghilang di balik pagar.
"Loh, Non kok hilang, tadi manggil saya mau kasih uang," kata si Mbak melenggang masuk mencari gadis itu. Mungkin dia malu, sama sepertiku.
Setelah hari itu, entah kenapa hari-hariku menjadi sangat indah. Ada getaran-getaran dalam dada. Membayangkan wajahnya saja aku bahagia. Berharap dia pun merasakan hal yang sama.
Sejak itu, setiap berkeliling, aku selalu meminta Mang Jaja melewati kawasan perumahan gadis cantik itu. Dan beruntungnya, selalu ada saja yang di beli oleh mbak asisten gadis itu. Entah hanya satu buah pisau, kobokan satu biji, sabut cuci piring dan sebagainya.
"Sini Non, ada mas gantengnya ini, lo," kata si Mbak.
Wah, kok mbaknya serasa udah familiar sama aku, ya. Jangan-jangan aku sudah jadi bahan pembicaraan mereka. Aku sedikit GR.
Benar saja, si Mbak yang energik ini pada akhirnya bilang, "Ssssst, Mas. Dapet salam dari Non Amel."
Wah, kepalaku seperti sedang disiram es mendengarnya. Sejak itu aku tahu namanya Amelia. Nama yang cantik, secantik orangnya.
Dia tidak tahu bahwa dalam hati, diam-diam aku juga menyukainya. Tatapan kalem dengan bibir merah merekah itu yang selalu terbayang-bayang di benakku.
Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, Amel mulai berani menampakkan diri, terkadang dia ikut memilih-milih barang dagangan dengan Mbaknya. Mencari-cari apa yang mau dibeli.
Lucu juga sich, orang kaya tapi masih mau beli perkakas dapur yang dijual keliling. Padahal bisa saja mereka membeli barang yang lebih bagus ke Mall.
Di perumahan ini, rumah Amel memang yang paling megah, dan itu jadi semacam penghalang batinku yang sedang jatuh cinta. Rumah itu seolah memberi batas untukku, agar aku tahu diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TERLARANG
RomancePernahkah kita mendengar kisah cinta luar biasa istri pada suaminya, kasih sayang ibu kepada anak angkatnya? Tapi bagaimana jika terjadi ada cinta terlarang di antaranya? Sanggupkah sang nyonya berjuang mengembalikan rumah tangganya kembali menjadi...