Jika yang terjadi adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus aku syukuri, maka Tuhan, ajari aku bagaimana cara melupakan tanpa harus membenci.
(Amelia)
***
"Jujur Raya sedih."
"Sedih kenapa? Karena ternyata mimpimu untuk menikah dengan Ayah dan menjadikan Bunda madu gagal? Itu kan mau kamu?"
"Bukan Bunda, Raya sedih karena Ayah dan Bunda harus bercerai. Dan sudah seminggu Ayah terbaring, entah sampai kapan akan bangun."
"Terlambat kamu bilang seperti ini, Raya. Sekarang baru menyesal. Seandainya kamu nggak rakus dan egois, ini semua nggak akan terjadi. Kamu lihat sekarang akibatnya, Ayah koma, kamu hamil dan Bunda hampir depresi. Hubungan kita sudah sulit untuk dipersatukan lagi. Bunda tak akan pernah mau kembali seperti dulu. Membayangkannya saja sudah jijik."
Ia diam.
Biar kutumpahkan amarahku padanya sekali ini saja, biar ia tahu betapa aku kecewa dan marah. Bukan aku dendam. Hanya perlu membuatnya membuka mata atas kesalahan yang sudah dia perbuat. Bukannya ia tak pernah berbuat salah, sangat sering malah. Dari kecil hingga dewasa, tak pernah tak termaklumi, aku selalu maklum.
Pernah ketika kupegangi kartu kredit, ia buang-buang uang hanya untuk mentraktir teman-temannya minuman keras berbotol-botol. Hilang uang seharga satu mobil, aku masih maklum.
Pernah ia menabrak lelaki tua yang menjadi tulang punggung keluarga, dan pada akhirnya aku harus membiayai hidup keluarga mereka karena kepala keluarganya berpulang, aku masih bisa memaafkan. Semua keinginannya tak pernah tak terkabul.
Tapi yang ini keterlaluan Raya. Bagaimana mungkin ia meminta suamiku sebagai suaminya dalam keadaan sudah hamil. Ia pikir aku juga akan dengan mudahnya mengiyakan permintaannya. Ini gila.
"Pergilah kalau mau packing barang-barangmu. Saya mau istirahat."
Akhirnya ia mundur, keluar dari pintu kamar ini.
Kubiarkan Raya membenahi semua barangnya di bantu dua orang ART. Aku memilih berisitirahat di kamar. Sebaiknya memang aku tak melihat Raya lebih lama, daripada harus sedih melihat ia mengemasi barang-barangnya.
Mungkin hari-hariku selanjutnya akan terasa sepi. Tapi ini lebih baik.
Kurebahkan diri kembali ke atas kasur. Kelebatan kenangan masa lalu bermunculan di kepalaku. Seperti sebuah film yang sedang diputar. Aku mengingat semuanya kembali. Kenangan empat belas tahun silam.
Seorang wanita datang membawa-bawa anak kecil, meminta pekerjaan sebagai ART. Sebenarnya aku sudak tak membutuhkan karena di rumah sudah ada dua orang yang bekerja. Tapi melihatnya datang dalam kondisi kehujanan dengan wajah yang begitu memelas, membuatku jatuh iba. Mungkin ia memang sedang butuh pekerjaan sekali.
Siang itu, Yu Sopinah langsung kuterima bekerja.
"Yu, nanti bagianmu menyapu halaman belakang yang luas itu saja, dan membantu dua orang yang sudah bekerja di sini, agar pekerjaan mereka lebih ringan," ucapku.
Yu Sopinah mengangguk penuh binar. Ia kelihatan bersyukur sekali kuterima bekerja di sini.
"Siapa namamu, Nak?" tanyaku.
Anak kecil berkuncir kuda itu tersenyum. Menjawab malu-malu.
"Yani, Buk," jawabnya. Sambil sekali lagi tersenyum menampakkan deretan gigi gupisnya.
"Berapa usianya, Yu?" tanyaku pada ibunya.
"Tiga tahun setengah, Bu." Si anak nyengir lagi ketika kutatap. Mungkin dia risih karena aku memperhatikannya betul-betul.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TERLARANG
RomancePernahkah kita mendengar kisah cinta luar biasa istri pada suaminya, kasih sayang ibu kepada anak angkatnya? Tapi bagaimana jika terjadi ada cinta terlarang di antaranya? Sanggupkah sang nyonya berjuang mengembalikan rumah tangganya kembali menjadi...