TIGA PULUH TIGA

396 31 7
                                    

"Kenapa?"

Setenang mungkin Dika menyikapi kata-kata Fio sebelumnya.

"Jangan tanya kenapa, karena dari awal kita pacaran, hal pertama yang gue bilang kalo gue gak mau buat lo kecewa," kata Fio yang tentu saja membuat Dika semakin bingung.

"Lo ngerasa ngecewain gue? Tapi dimananya? Lo ngecewain gue apa, Fi?" tanya Dika.

"Lo bego apa gimana sih? Gue udah terlalu jadi beban buat lo, gue tau kalo lo mau gue jadi pacar lo cuma buat ngelindungin gue dari Deka 'kan? Lo cuma ngerasa bersalah doang ke gue karna Deka berusaha nyelakain gue waktu itu 'kan? Iya kan, Dik?" ucap Fio yang kini sudah mendudukkan dirinya di atas brankar.

Dika menatap Fio nanar. Dika merasa ada kesalahpahaman di sini. Antara dirinya dan Fio.

Dika tak tau harus memulai dari mana. Gadis itu tidak menangis. Tetapi bukan berarti Fio tidak emosional saat mengatakannya.

"Kenapa lo bisa mikir gitu?" tanya Dika akhirnya.

Fio sedikit tertawa miris. "Setelah gue inget ke belakang, gue mikir kalo gak ada alasan buat lo suka sama gue, gak ada alasan buat lo jatuh cinta sama gue," ucapnya.

Dika diam masih menunggu kalimat yang akan dikatakan Fio selanjutnya.

"Gue tadi liat lo pelukan sama Kara."

Benar saja itu hal yang sudah pasti menimbulkan semua pikiran negatif Fio selama ini. Dika menatap gadis itu lama hingga akhirnya Dika menggenggam tangan Fio.

"Istirahat, ya?" ucap Dika akhirnya. Lelaki itu tak mau membuat Fio semakin memikirkan hal yang akan membebankan dirinya sendiri. Dika takut keadaan Fio semakin memburuk.

"Jadi bener, Dik?" Fio menatap mata Dika.

"Fiona.. Gue gak tau kenapa lo bisa berpikiran kayak gini ke gue, gue ngerasa kalo gue jelasin dengan kata-kata yang ngebantah semua ucapan lo itu bakal sia-sia," kata Dika lembut.

Dika dapat melihat mata Fio yang sudah menahan tangis, tapi gadis itu langsung memalingkan wajahnya.

"Jangan nangis, Fi..." Dika menunduk.

"Keluar, Dika," ucap Fio akhirnya.

Dika bangkit dari duduknya. "Lo tenangin diri lo dulu, ya?"

Tak ada jawaban. Akhirnya Dika keluar ruangan dengan perasaan yang benar-benar kacau.

***

"Halo, Ger? Tolong urusin administrasi gue di rumah sakit ya? Gue tadi langsung cabut dari ruangan Fio ada yang mau gue urus. Minta tolong banget gue, oke nyet?" tanya Dika menggebu-gebu melalui telepon.

"Dih! Emang lo mau kemana?" tanya Gerry dari seberang telepon.

"Nanti gue ceritain." Dika menutup sambungan telepon itu secara sepihak.

Dika menghela napas dan melirik gadis yang berada di sebelah kemudinya.

"Lo kenapa sih, Kar?" tanya Dika gusar melihat Kara yang tiba-tiba mengajaknya untuk bertemu.

"Maaf," ucap Kara.

"Daritadi lo ngomong maaf mulu, tapi gue gak tau alasan lo minta maaf itu apa."

"Jangan benci gue, ya?" lirihnya.

"Coba lo jelasin dulu deh, jangan setengah-setengah gini, gue gak paham." Dika memposisikan dirinya menghadap Kara.

"Dika.. Lo tau kan gue sayang banget sama lo?"

Dika diam.

"Rasa sayang gue yang udah bikin gue kayak gini ke elo, Dik. Bodoh banget, ya, gue?" Kara tertawa miris.

Dika semakin tak mengerti.

"Lo yang udah buat gue jadi gini, lo yang salah," sambungnya.

"Gue? Gue salah apa, Kar?"  Dika mengernyitkan dahinya heran.

"Kenapa dulu perhatian lo lebih banyak ke Kayla, Dik? Lo lupain gue karena lo terlalu fokus buat jagain adek lo!" bentak Kara dengan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.

Deg.

"Gue benci banget liat lo lebih perhatian ke adek lo. Padahal waktu itu gue lebih butuh perhatian lo daripada adek lo! Ini yang buat gue hilang akal, Dika!" akhirnya air mata Kara lolos dan mengalir di pipi pucat gadis itu.

"Gue sakit, Dik! Lo tau kan? Gue sakit parah. Gue sampe muak dirawat di rumah sakit. Tapi lo jarang khawatirin gue, 'kan? Lo cuma ngurusin adek lo yang gak ada beban sama sekali!" ucap Kara menggebu.

Dika menatap Kara dengan ekspresi yang tak bisa ditebak. Dika masih belum mengerti kemana arah pembicaraan ini.

"Maksud lo apasih? Kenapa lo jadi gini? Kenapa lo ngungkit itu sekarang?" tanya Dika.

Kara tertawa miris. "Belum paham juga?"

Dika diam.

"Gue yang udah bunuh adek lo!" ucap Kara seperti orang yang tidak sadar dengan ucapannya sendiri.

Hal itu sontak membuat Dika membelalakkan matanya. Dadanya sakit. Ia butuh beberapa detik untuk mencerna kata-kata Kara barusan.

Tanpa sadar Dika sudah meneteskan air matanya. Kara tiba-tiba sadar dan mimik wajahnya berubah seketika. Seperti tersadar akan kata-kata yang diucapkannya barusan.

Kara panik. "Dika.. Hey.. Maafin gue," ucapnya.

"Lo gila, Kar!" bentak Dika keras yang berhasil membuat Kara diam seribu bahasa.

"Kayla itu adek gue! Wajar gue lebih perhatian ke dia daripada ke elo! Dan lo bilang apa? Kayla gak punya beban? Kayla sakit, Kar, Kayla punya penyakit jantung!" Dika mencengkeram stir mobil kuat seolah melampiaskan kemarahannya.

Kara tidak pernah tau bahwa Kayla punya penyakit. Kara kelu. Dia hanya menatap lurus kedepan seolah kesadarannya telah hilang.

"Masih bisa lo hidup tenang setelah yang lo lakuin ke keluarga gue, Kar?"

Kara diam.

"Jawab gue anjing!" bentak Dika akhirnya.

"Dik, gue minta maaf..." lirihnya.

"Tolol banget gue masih minta lo buat balik ke gue waktu itu." Dika mengingat saat pertemuan mereka di Bandung dan meminta Kara untuk pulang ke Jakarta.

"Gue tau gue salah, Dik.. Gue minta maaf."

Dika mendecih. "Lo pikir maaf lo bisa bikin Kayla hidup lagi? Maaf lo bisa bikin Deka keluar dari penjara karena jebakan lo? Lo pikir maaf lo bisa bikin trauma nyokap bokap gue hilang? Enggak, 'kan, Kar?!"

Kara tak bisa menahan tangisnya. Kara menangis hingga sesenggukan.

Kemana Dika harus melampiaskan kekesalannya sekarang? Apa dia harus membalasnya sekarang langsung pada Kara?

Dika menghela napas berusaha mengontrol emosinya. Dika meraih ponsel dari saku celananya.

"Vin! Jemput Kayla sekarang. Gue takut gak bisa ngontrol emosi gue." Dika mematikan sambungan dan menyandarkan kepalanya di kursi kemudi.

Kara menatap Dika takut.

"Gue bakal serahin diri ke polisi sekarang, Dik," ucap Kara pelan.

"Gue juga bakal nyuruh Genta untuk gak ngelakuin apapun selama gue gak ada." Kara hendak membuka pintu sebelum akhirnya Dika menahan tangan Kara.

"Genta?" Dika mengernyit heran.

"Lo bisa denger ceritanya dari Daniel nanti." Kara tersenyum kecut.

Kara membuka pintu mobil.

Brak!

"Kara!" Dika segera turun dari mobil dan membantu Kara bangun dari jatuhnya.

Dika menarik rambutnya frustasi. Kara terjatuh karena efek dari penyakitnya.

Dika tak bisa melupakan bahwa Kara mengalami sakit keras. Dika tak tau harus berbuat apa. Akhirnya Dika segera membawa Kara ke rumah sakit.

***

NGALOR NGIDUL DAH TUH ALUR :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang