DUA PULUH LIMA

2.2K 119 16
                                    

Apa yang Dika lihat saat ini benar-benar membuat dirinya ingin sekali menambah memar di wajah cowok yang sedang bersama Fio sekarang.

Marah?

Mungkin kata yang lebih tepat mendefinisikan isi hati Dika sekarang adalah kecewa.

Tapi, atas dasar apa Dika harus kecewa dengan perlakuan Fio?

Dika menghela napas gusar, lalu segera dia memutar balik badan dan berjalan menuju kelasnya.

"CILUK! BAAAAAAA!"

"SETAN!" umpat Dika bersamaan dengan Fathan yang tiba-tiba muncul dari balik pintu ruang kelas mereka.

"Kalo aku setan, kamu siapa dong?"

Ditatapnya Fathan yang menghalangi jalannya untuk masuk ke dalam kelas, Dika pun segera memeluk erat Fathan dan mendorongnya untuk masuk.

Fathan yang kewalahan karena berjalan mundur, langsung meronta ingin segera dilepaskan dari pelukan Dika.

"Kalo lo setan, gue malaikatnya." Dika melepas pelukannya dan berjalan menuju kursinya.

"Dih, sok yes, bangsul!" sahut Gerry.

"Sorry, ya. Gue emang yes dari lahir," ucap Dika malas, lalu ia menidurkan kepala di atas lipatan tangannya.

Fathan dan Gerry menatap aneh Dika. Tidak biasanya Dika bertingkah seperti ini di kelas.

"Setan!" Gerry mengguncang bahu Dika kuat dan itu tidak membuat Dika mendongakkan kepalanya.

"Woy, tan! Beli martabrak yuk? Gue yang bayarin deh," pancing Fathan.

"Martabak, bego!" koreksi Gerry sambil menjitak pelan kepala Fathan.

Fathan hanya menyengir. "Nyet, lo beneran gak mau martabrak? Gue-"

"Martabak, onyet!" koreksi Gerry lagi.

"Lo berisik banget sih anjir! Suka-suka gue dong mau bilang martabrak kek, matabrak kek, martabak. Dika yang mau gue ajakin beli martabrak aja gak protes. Ini kenapa lo yang heboh banget protes kata-kata gue?" tanya Fathan gusar.

"Kok lo jadi nyolot sih? Gue udah baik buat ngoreksi kata-kata lo, harusnya lo bilang 'Makasih, ya, Gely seyeng, kamu baik banget deh.' Nah harusnya lo ngomong gitu ke gue, bukannya ngebacotin gue," balas Gerry tak mau kalah.

"Ya gue lagi ngomong sama Dika malah lo potong. Lo kira darah tinggi gue gak naik kalo gue lagi ngomong malah di potong sama lo?"

Suasana kelas seketika hening menyaksikan pertengkaran dari dua manusia tampan itu. Ya, walaupun hal yang diributkan juga sangat tidak penting.

"Bukan urusan gue mau darah tinggi lo naik kek, mau turun kek, mau habis kek darah lo, gak peduli gue."

"Jadi, lo ngajakin berantem nih? Ayo sini! Maju lo, monyet!" tantang Fathan sambil menaikkan lengan bajunya.

Gerry yang tak mau kalah juga menaikkan kerah baju dan berjalan mendekat ke arah Fathan.

Aksi mereka benar-benar mengundang tawa dari beberapa siswa dan beberapa lainnya hanya mengabaikan kejadian itu karena dianggap hal yang tidak penting.

Dika?

Sekarang posisi badannya sudah tegak kembali dan menatap kedua sahabatnya yang sedang melakukan hal yang benar-benar membuatnya jengah.

"Lo berdua gak usah nyari perhatian bisa gak sih?" tanya Dika tiba-tiba dan berhasil membuat keduanya diam seribu bahasa.

"Benerin baju lo berdua," sambung Dika datar.

Fathan dan Gerry hanya menurut dengan perkataan dari Dika. Kemudian Gerry kembali duduk ke kursinya. Sedangkan Fathan memilih keluar kelas.

"Mau ke mana lo?" tanya Gerry.

"Suka-suka gue," kata Fathan sambil menatap Gerry jengkel.

Gerry hanya tertawa pelan dan menatap Dika yang sudah menidurkan kepala di atas lipatan tangannya lagi.

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari setengah jam yang lalu, tapi tak membuat Dika ingin segera melangkahkan kakinya untuk pulang.

Pikirannya bukan hanya tertuju pada kejadian tadi pagi, tapi baru saja ia mendapat telepon dari Ibunya bahwa ia harus segera mengunjungi Deka di penjara, untuk melihat bagaimana kondisi kembarannya itu sekarang.

"Dik, lo belum mau pulang? Kelas mau gue kunci nih," kata salah satu teman sekelas Dika. Lebih tepatnya teman yang waktu itu pernah dijahili Dika dengan melempar kertas ke kepalanya saat gadis itu sedang tertidur. Namanya Manda.

"Yaudah kunci aja."

"Oh, yaudah." Manda berjalan keluar kelas dan segera mengunci pintu dan membiarkan Dika terkunci di dalam kelas.

Dika hanya menatap datar kepergian gadis itu dan kembali termenung.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka dan menampilkan kembali Manda dari balik pintu.

"Woy! Lo udah gila? Lo mau ke kunci di sini sampe besok?" tanya Manda kesal.

Dika tidak menggubris ucapan Manda.

"Sumpah, ya, gue lagi males banget buat berantem sama lo hari ini. Mending lo cepet-cepet berdiri dari situ terus pulang ke rumah lo deh, tidur, ngadem, minum kopi," corocos Manda.

Dika menghela napas dan segera bangkit dari duduknya. "Berisik banget lo," ucap Dika ketika ia lewat dari hadapan Manda.

"Bodo amat."

Manda menatap punggung Dika yang berjalan menjauh. Kemudian dialihkannya pandangan ke arah kursi Dika.

Tas Dika tertinggal.

"Nih orang emang buat dosa mulu, ya?" Manda berjalan mengambil tas Dika dan buru-buru mengunci pintu kelas.

Gadis itu mengejar Dika yang dirasanya belum jauh dari kelas mereka. Manda mencari sampai ke parikiran sekolah, di sana terlihat Dika sedang duduk di atas motor sambil memainkan ponselnya.

"Heh! Tas lo ketinggalan, geblek!" Manda melempar tas itu ke atas motor Dika dan membuat si empunya langsung menatap tajam gadis itu.

"Santai dong."

"Santai-santai pala lu! Habis waktu gue buat nganter tas lo doang." Tanpa berbasa-basi lagi, Manda berjalan meninggalkan Dika.

"Et, et, bentar dulu. Gue mau minta tolong nih," cegah Dika.

"Sorry, ya. Gue gak ada waktu, gue udah dijemput di gerbang."

Dika menatap Manda yang berjalan menjauh. Kemudian dijalankannya motor untuk segera keluar dari area sekolah.

"Pak! Saya ambil motor, ya!" teriak Dika kepada satpam sekolah yang sedang duduk di posnya.

Sebelum Dika benar-benar meninggalkan area sekolah, ia melihat Manda yang sedang berbincang dengan seorang cowok yang Dika yakini cowok itu adalah Genta.

Dilihatnya Genta mengelus rambut Manda pelan dan cowok itu tersenyum. Entah apa yang mereka bicarakan Dika tidak mau ambil pusing.

Kemudian dijalankannya motor untuk memenuhi permintaan Ibunya dengan melihat keadaan Deka.

***
Maaf banget part ini gaje tingkat dewa :')

Ja, matta ne.

DIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang