Bruk!
Sebuah hantaman meja menggema di gudang berdebu itu. Dika baru saja tiba, namun ia langsung melihat keadaan yang paling dibencinya. Ia benci melihat keadaan kembarannya saat ini.
"Ikut gue pulang!" Dika menarik kerah baju Deka yang sudah kusut. Deka berjalan dengan lunglai dan tidak ada berkata apa-apa.
"Bodoh! Lo bodoh, Deka!" Teriak Dika frustasi. Saat ini ia berusaha untuk menahan air matanya.
Deka tertawa miris ketika Dika mendorong secara paksa dirinya untuk masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan mereka hanya diam saja. Tak ada yang memulai percakapan.
Dika memberhentikan mobilnya di salah satu bangunan dan hanya orang-orang tertentu saja yang datang ke tempat itu. Ia lagi-lagi menarik paksa Deka keluar dan membawanya masuk ke dalam bangunan.
Deka mengikuti ke mana kembarannya itu membawanya, mereka memasuki salah satu ruangan. "Lo bakalan gue jemput besok," kata Dika. Lalu ia keluar meninggalkan Deka di ruangan itu.
Dika menutup pintu mobil dengan keras, lalu ia menancapkan gas dengan kecepatan diatas rata-rata. Tidak peduli dengan segala umpatan-umpatan dari pengguna jalan lainnya. Ia ingin meluapkan segala emosi yang dipendamnya sedaritadi.
Dika melihat arloji yang berada di tangan sebelah kirinya. Sekitar dua jam lagi bel pulang sekolah akan berbunyi. Untuk itu ia memilih kembali ke sekolah.
Dika memarkirkan kendaraannya di belakang sekolah dan ia langsung memanjat tembok tinggi itu.
"Woi! Dari mana aja lo?" Tanya Gerry saat ia melihat Dika masuk ke dalam kelas dengan ekspresi tidak tertebak.
Dika tidak menggubrisnya, ia hanya duduk di bangku yang di sampingnya sudah ada Fathan yang sedang menonton anime. "Palingan dia abis kena ujian hidup dari si Rampi," ucap Fathan sambil terkekeh.
"Lo kenapa?" Daniel yang tahu bahwa Dika sedang tidak baik-baik saja langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.
"Gue pengen boker deh." Dika bangkit dari duduknya dan keluar dari kelas. Ia berjalan di koridor yang sepi itu dan ia sangat bersyukur karena guru yang masuk di kelasnya sedang berhalangan hadir.
Sebenarnya ia tidak benar-benar ingin ke toilet, ia hanya ingin menghindari pertanyaan-pertanyaan dari sahabatnya. Jarak beberapa meter, Dika melihat seorang gadis sedang berjalan sendirian. "Fio!" Teriak Dika.
Merasa namanya dipanggil, Fio membalikkan badan untuk melihat orang yang memanggilnya. Fio menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Dika yang berlari ke arahnya.
"Lo mau ke--"
"Dika! Fio!"
Shit!
Dika menarik lengan Fio dan mengajaknya berlari menghindari amukan Bu Nelsen yang selalu mengawasi murid-muridnya yang tidak mengikuti pelajaran.
Mereka masuk ke dalam gudang peralatan olahraga. Ruangan itu sangat sempit karena sudah diisi dengan alat-alat olahraga. Saat ini posisi Dika dan Fio berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat dekat. Di belakang mereka terdapat lemari yang besar hingga mereka harus bersempit-sempitan.
Tobat dah gua, tobaaaat!
Wajah Fio tepat berada di depan dada Dika. Hal itu membuat Dika seperti tidak bisa bernapas. Ia sedang berusaha agar badannya tidak bersentuhan dengan badan Fio. Ia terus menerus mendongakkan kepalanya agar dagunya tidak menyentuh puncak kepala Fio.
Hembusan napas Fio sangat terasa di leher Dika. Dika mengalihkan perhatiannya ke arah pintu gudang itu. Sudah delapan menit posisi mereka tetap seperti itu. Dika menjilat bibir bawahnya sendiri dan menarik napas panjang lalu menghembuskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIKA
Teen Fiction"Kenapa gak sekalian lo buang aja tas gue?" Tanya Fio ketus. "Yeeeeh, masih mending gue balikin." Fio merampas tasnya dari tangan Dika. "Pergi!" "Kayaknya lo hobi banget ngusir orang ya?" Dika mengerutkan dahinya. "Kenapa lo sembunyiin tas gue?" Fio...