LIMA

4.7K 387 176
                                    

Saat ini Dika, Fathan, dan Gerry tengah berjalan sambil mengendap-endap di koridor sekolah. Pasalnya, mereka baru saja tiba, padahal ini sudah memasuki jam kedua pelajaran.

"Oi, cepetan dikit jalannya. Ntar ketahuan sama si rambut api, kan gak ucul," tegur Dika setengah berbisik, ia memimpin jalan di depan.

"Kok perasaan gue gak enak ya?" tanya Fathan yang berada di belakang Gerry.

"DIKA! FATHAN! GERRY!" teriak Bu Nelsen yang berada tak jauh dari mereka.

"Anjir anjir, si rambut api mendekat woy! Cabut cepetan!" Dika panik dan mereka langsung lari untuk menghindari Bu Nelsen yang sudah mengambil ancang-ancang untuk mengejar mereka.

"Heh! Jangan lari kalian!" Bu Nelsen masih terus mengejar tiga manusia itu, sampai yang dikejar menghilang dari balik koridor pembatas antara gudang dan koridor kelas 11.

"Ya Tuhan, capek kali aku kok udah ngurus yang tiga orang ini," gumam Bu Nelsen sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Guru itu memilih untuk tidak mengejarnya lagi, ia memilih untuk menambah catatan hitam mereka di BK.

"Duh, capek banget gue. Bu Nelsen emang terbaik sejagad raya, bumi asia, langit tanpa bintang, dan hati yang dilanda kegundahan mendalam," gerutu Fathan sambil mendudukkan dirinya di bangku panjang kantin tersebut.

Mereka singgah sebentar di kantin Yomen, yang berada di belakang sekolah dan jauh dari pantauan guru. Di kantin itu hanya ada mereka bertiga dan beberapa siswa yang sepertinya bolos pelajaran sama seperti mereka.

"Si bego," kekeh Gerry, lalu ia berjalan mengambil minuman di lemari es kantin.

"Gue heran dah liat si Rampi, masa badannya lebar banget gitu, bisa lari kencang coba? Mana dia pake rok lagi, tapi kok bisa lari sih?" Dika bertanya gusar.

"Hanjeng, Rampi siapa woi?" Gerry terbahak.

"Si rambut api lah." Dika menghela napas. "Bu Nelsen tuh, emak lo," sambungnya terkekeh geli.

"Tai," ucap Gerry sambil menoyor kepala Dika.

"Hooo di sini kalian ternyata," tiba-tiba Daniel muncul dari belakang mereka. "Dicariin wali kelas, noh."

Memang, diantara mereka berempat hanya Daniel yang paling rajin untuk datang pagi dan dia juga yang paling berprestasi di sekolah.

"Mau ngapain?" tanya Fathan mendengus kesal.

"Kangen, kali," jawab Daniel asal.

"Oh, yaudah, ayo." ajak Dika sambil bangkit dari bangku.

Kemudian, mereka berjalan menuju ruang guru untuk menjumpai Bu Rida selaku wali kelas mereka.

"Dik, kemarin lo jadi nganter Fio pulang 'kan?" Daniel memulai percakapan.

"Ya jadilah, tapi untung aja gak gue turunin di jalan dia. Muka kayak tembok, datar amat coy!" jawab Dika menggebu-gebu.

"Perasaan itu mulu yang lo bilang, Dik. Ntar naksir, mampus lo! Terus lo tikung dah si Daniel, jadi berantem deh lo pada, ujung-ujungnya babang Fathan yang ganteng ini juga yang melerai." Fathan menghela napas. "Lelah aku tuh," lanjutnya dengan muka memelas.

"Geli gue."

"Yaudah, sana kalian jumpain Bu Rida dulu," ucap Daniel sambil menunjuk pintu ruangan Bu Rida. "Entar kalo udah selesai, ngumpul tempat biasa, gue duluan ya!"

***

Seperti biasa, saat ini Fio tengah bermain Futsal di lapangan dengan teman-teman laki-lakinya. Padahal jam pulang sekolah sudah berbunyi sejak 1 jam yang lalu, tapi tidak membuat Fio untuk segera beranjak dari sekolah.

"Woi, Ken! Main dong. Kurang satu orang lagi nih," ucap Fio kepada Keenan.

"Capek ah gue, udah tiga babak main terus, panas juga lagian. Cari yang lain deh, Fi."

"Apaan, sok ngartis lo!" ejek Fio.

Keenan hanya terkekeh melihat tingkah Fio.

"Fi, gue pulang duluan ya? Perut gue udah keroncongan parah nih," pamit salah satu teman Fio.

Fio hanya mengangguk, kemudian teman-teman Fio yang lain mulai pulang satu persatu dan hanya tersisa Fio dan Keenan yang berada di lapangan itu.

"Pulang?" tanya Keenan.

"Iyalah, mau lo?"

"Yaudah, yuk! Tapi gue mau ke rumah temen sebentar, lo gue antar pulang dulu atau ikut?" Mereka berjalan dengan Keenan yang merangkul bahu Fio.

"Ikut aja deh."

"Oh, oke."

Hanya memakan waktu sekitar 15 menit, mereka sudah sampai di rumah bergaya Eropa itu.

"Ayo turun."

Kemudian, mereka memasuki pekarangan rumah. "Jangan lama."

"Iya, bawel."

Ting! Tong!

Tak berapa lama, keluar seorang paruh baya yang Keenan kenal sebagai orangtua Dika.

"Eh, Keenan. Nyari Dika, ya?"

Dika? Astaga, orang itu lagi. Batin Fio.

"Iya, Tante. Dika nya ada?"

"Ada kok, dia ada di atas, masuk aja ke kamarnya," jelas Rizka.

"Oke, makasih, Tante. Aku ke atas dulu."

Rizka mengangguk, kemudian menggeser sedikit badannya, agar Fio dan Keenan bisa melewati pintu masuk itu.

"Ken, gue nunggu di sini aja." Fio menyenggol lengan Keenan dan duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

"Yaudah, bentar."

Keenan sedikit berlari menaiki tangga dan langsung masuk ke kamar Dika tanpa mengetuknya.

"Woi, Dik. Kaset PS gue yang lo pinjem mana, peleh?"

"Si anjir, dateng-dateng ngegas lo." kesal Dika yang sedang memainkan gitar di balkon kamarnya.

"Yaelah, cepetan! Temen gue nunggu di bawah tuh."

"Itu di rak PS gue, ambil aja sendiri."

Keenan menghampiri rak tersebut dan langsung mengambilnya.

"Gue cabut, Dik." Keenan kemudian segera keluar menuju lantai bawah.

Dika tidak menggubrisnya dan ia hanya sibuk menyetel gitar yang baru saja dibelinya dua hari yang lalu.

"Tante, kita pulang dulu, ya?"

"Kok cepet banget, Ken?"

"Iya, Tan. Keenan cuma ambil kaset PS aja."

"Padahal Tante masih asik ngobrol sama Fio, lho. Udah pada mau pulang aja," ucap Rizka menampilkan wajah sedikit kecewanya.

"Kapan-kapan Fio mampir lagi kok, Tante." Fio tersenyum.

"Yaudah, kalian hati-hatiya." Rizka kembali tersenyum.

Keenan dan Fio berbalik menuju pintu keluar dan segera pamit untuk pulang.

Saat Rizka selesai mengantar tamunya sampai depan pintu dan ingin menuju ke dapur, ia menghela napas karena melihat tas Fio tertinggal di sofa yang ia duduki tadi.

"Dika! Turun sebentar, nak," teriak Rizka.

Dika menuruni tangga dengan langkah gontai. "Ada apa, Ma?"

***

Jiahahaha :v

Apa kabar manteman?
Aku kabar baik disini :v

Dengan segala keabsurdan dan kegajelasan :v

DIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang