Fionandya Calandra

6.5K 666 403
                                    

Si penggila madu itu kini tengah sibuk menghisap madu sachet-an yang baru saja dibelinya di kantin.

Dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasa, gadis itu duduk tenang di anak tangga penghubung antara kelas 11 dan 12.

"Hai," sapa seorang cowok yang tak sengaja lewat dari samping Fio. Tetapi, gadis itu tidak menanggapinya. Kemudian, cowok itu ikut duduk di sampingnya.

"Gue temenin, ya?"

Fio masih diam.

"Kok diem sih? Lo bisu?"

Fio sudah tidak tahan. Langsung saja Fio melayangkan tonjokannya ke ulu hati cowok itu hingga membuatnya meringis kesakitan.

Orang-orang yang melihat kejadian itu menatap tak percaya dengan perlakuan Fio.

Kemudian Fio pergi meninggalkan keramaian yang terjadi. Fio menghela napas panjang. Menurutnya, tenaganya sudah keluar secara cuma-cuma hanya untuk menghajar cowok itu.

"Fiona!"

Fio menoleh ke arah orang yang memanggilnya.

"Lo dari mana ajasih? Bu Yani nyariin lo tadi," ucap Mifta teman sebangku Fio dan sekaligus sahabat Fio dari SMP.

"Madu."

"Madu?" Beo Mifta.

"Beli madu."

Mifta yang sudah mengerti sifat Fio hanya mendengus kesal, "sana gih jumpain Bu Yani."

"Males gue. Lo aja."

"Lah kan lo yang dipanggil," kata Mifta, tak sabaran.

Fio mendecak kesal. Kemudian ia berjalan menuju ruangan Bu Yani selaku wali kelas mereka.

***

Kring... kring...

Akhirnya bel kemenangan telah berbunyi, semua murid berhamburan keluar kelas untuk melaksanakan kegiatan mereka masing-masing setelah pulang dari sekolah.

"Lo pulang naik apa, Fi?" Tanya Mifta

"Motor."

"Gue nebeng sama lo, ya? Abang gue gak bisa jemput soalnya.

"Yaudah." Fio menyampirkan tasnya di bahu sebelah kiri.

Fio dan Mifta berjalan santai di tengah keramaian koridor, tidak peduli seberapa banyak orang yang menatap mereka.

"Lo ikut turnamen lagi?" Tanya Mifta.

"Iya."

"Sama Daniel juga?" Mifta melirik Fio yang berada di sampingnya.

"Iya. Dia ngajak pergi latihan bareng."

Mifta sedikit melebarkan matanya kaget. "Lo iyain?"

"Terpaksa."

Mifta diam dan menatap kosong ke depan.

"Lo gak pa-pa?" Fio melirik sekilas sahabatnya itu.

"Apaan sih lo," Mifta terkekeh pelan. "Lo yakin mau ikut kejuaraan taekwondo lagi?"

Ada rasa cemas ketika Mifta mengetahui kalau sahabatnya itu akan kembali mengikuti turnamen itu.

"Ini yang terakhir buat gue," sahut Fio datar.

Fio naik ke motor Ninja miliknya, kemudian memakai helm.

"Naik!"

Kemudian Mifta naik ke motor besar itu dan Fio langsung menjalankan motor kesayangannya untuk membelah jalanan Ibu Kota yang sangat ramai siang itu.

***
Drt. Drt.

Ponsel yang bergetar membuat gadis yang tengah tertidur itu harus segera terbangun dari tidurnya.

Digerakkannya tangan ke atas nakas untuk mengambil ponselnya. Masih dengan keadaan setengah sadar, diarahkannya ponsel itu ke telinga kanannya.

"Ya?"

"Lo di rumah?"

Fio sangat mengenali suara ini. Suara yang selalu menemaninya dari kecil. Itu sahabatnya. Keenan.

"Iya," jawabnya.

"Temenin gue beli kaset PS yuk?" ajak Keenan seperti biasa.

"Males."

"Dih, sok yes mbaknya," sindir Keenan sambil tertawa pelan.

"Sirik aja lo," ucap Fio tak bisa menahan senyumnya.

"Fio! Buka!"

Fio segera mematikan sambungan teleponnya dan segera berlari kecil ke arah pintu dan membuka pintu kamarnya.

"Kenapa?" tanya Fio dingin.

"Bunda-mu mana?" tanya seorang pria paruh baya yang sedang memasang wajah gusarnya.

"Papa masih bisa nanyain Bunda?" Fio kembali bertanya dengan nada sinis.

"Maksud kamu apa?"

Fio tertawa sinis. "Mending Papa pergi deh dari rumah ini, aku rasa hak Papa untuk tetap di rumah ini udah gak ada. Mungkin setelah Papa pergi dari sini bisa ngebuat aku sama Bunda jadi lebih nyaman."

Plak!

Satu tamparan mendarat mulus di pipi Fio. "Kamu udah berani ngelawan Papa?"

Fio diam. Matanya memerah menahan tangis, ia merasa dirinya sangat lemah untuk sekarang ini. Hanya dengan satu tamparan saja bisa membuat dirinya menangis?

Pria dengan balutan jas hitam itu tidak merasa bersalah sedikitpun, bahkan ia menampar sekali lagi putrinya.

"Jawab!" sentaknya keras.

"Bahkan setelah apa yang terjadi sama Bunda, Anda masih bisa datang dan ngelakuin ini ke saya?" Fio menghela napas dan kembali dengan nada bicaranya yang sangat dingin. Bahkan air mata yang akan runtuh tadi berhasil ditahannya.

"Saya mohon sekali lagi agar anda pergi dari rumah ini sekarang," kata Fio tegas dan segera menutup pintu kamarnya keras.

Dan air mata yang sedari tadi ditahannya seketika runtuh.

Bukan berarti Fio menangis kencang.

Fio menangis dalam diam.

***

Hollaaaaa.

Mifta dan Keenan udah nongol dong ye :v

DIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang