EMPAT

4.9K 529 407
                                    

Dika menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. "Hadeh, ening ala batman," keluhnya.

"Lo kenapa, geblek?" kekeh Gerry. Seperti biasa, Fathan dan Gerry sedang menginap di rumah Dika.

"Tadi si Daniel minta tolong gue buat nganterin cewek, tapi asli dah gue nyesel banget udah nurutin permintaan si Kudanil, ekspresi tuh cewek datar banget, bangsul! Gak ada senyum-senyumnya sama sekali. Terus nih, gue belum nyuruh dia buat masuk, eh dia malah masuk duluan ke mobil gue," cerocos Dika panjang lebar.

"Cewek? Namanya siapa dah?" tanya Fathan yang mulai tertarik dengan arah pembicaraan kedua sahabatnya.

"Gak tau." Dika mengedikkan bahu. "Dan gak mau tau juga gue," sambungnya.

"Nyantai aja kali."

"Nyantai-nyantai pala lo! Kesel gue nih!" Dika menghela napas kasar. "Gue pengen boker deh."

"Lah, bego! Kenapa jadinya pengen boker?"

"Gue suka gitu emang kalo lagi kesel," ucap Dika sambil bangkit dari kasurnya.

"Oyaya," balas Gerry dan Fathan berbarengan. Dan dua manusia itu tertawa geli karena kata yang mereka ucapkan memiliki arti tersendiri bagi persahabatan mereka.

Brak!

Pintu kamar Dika terbuka menampilkan sosok Deka dengan seringaian khasnya.

"What's up bro?" Deka masuk dengan gaya tengil yang dibuat-buatnya.

Sedangkan tiga orang yang ada di kamar itu sudah menatapnya garang, seperti ingin memakan Deka saat ini juga.

"Biasa aja dong liatnya, gue tau kalo gue tuh cakep. Udah banyak yang ngakuin kali."

***

Sudah sedari tadi Fio duduk di balkon kamarnya, menikmati semilir angin yang bertiup malam itu. Pikirannya terbagi, satu sisi ia memikirkan tentang percakapan antara dirinya dan Bunda beberapa jam yang lalu.

"Bunda akan pindah ke Bandung, Fi."

"Jadi, Fio di sini sama siapa, Bun?"

"Bunda percaya kalo kamu bisa ngejaga diri kamu," jawab Bunda tersenyum menenangkan.

Fio mengangguk menanggapi. "Tapi, apa tujuan Bunda pindah?"

"Ada satu masalah yang harus Bunda selesaikan dan besok Bunda akan berangkat."

Fio menghirup udara dalam-dalam, lalu ia menghembuskannya kasar. Sampai ia merasa getaran ponsel dari kantong baju tidurnya.

Mifta Taleetha : FIONAAAA

Fionandya C. : Iya?

Mifta Taleetha : lo lagi dirumah kan?

Fionandya C. : Y

Mifta Taleetha : gue ke rumah lo ya?
Mifta Taleetha : otw nih gue

Fionandya C. : minimarket

Mifta Taleetha : lah apaan? Kaga nyambung tai

Fionandya C. : gue ke minimarket bentar

Fio mengambil topi serta jaket yang ada di atas tempat tidur dan memakainya, tidak lupa ia mengambil kunci motor dari atas nakas.

Fio melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata dan ia sampai di minimarket dengan selamat. Fio hanya ingin membeli madu kesukaannya dan beberapa cemilan untuk dirinya dan Mifta di rumah.

Ia segera membayar belanjaannya di kasir. Baru saja Fio melangkahkan kakinya keluar, ia melihat seseorang yang tidak asing menurutnya, tengah di hajar habis-habisan oleh sekelompok orang di sebrang jalan tepat di depan rumah sakit.

Sontak Fio langsung berlari untuk menolong orang yang sudah babak belur itu. Dan begitu Fio datang sekelompok orang tersebut langsung pergi entah kemana.

"Lo gak--" Fio menggantung pertanyaannya, "lo yang tadi nganter gue 'kan?"

"Tolongin gue dulu," kesal Dika sambil meringis kesakitan.

Fio membantu Dika berdiri dan membawanya duduk di bangku dekat minimarket tadi.

"Lo kenapa?" tanya Fio.

"Gue juga gak tau gue kenapa," balas Dika sambil memegang lebam di mukanya.

Tapi, Fio nampak tak peduli dan berjalan menuju motornya.

"Eh, tega banget lo. Bantuin dulu kek," cegah Dika.

"Rumah sakit?"

"Gak!"

Fio mendengus. "Naik apa ke sini?"

"Mobil tuh," jawab Dika menunjuk ke arah letak mobilnya. "Tapi gue gak bisa nyetir karena tangan gue nyeri banget ini."

Kemudian Fio naik ke motornya, "Ayo," ajak Fio, tapi menurut Dika itu terdengar ambigu.

"Hah? Apaan?"

"Naik."

"Hah? Apaan dah?"

"Hah hoh hah hoh mulu kerjaan lo, naik ke motor gue."

"Lo mau bawa gue kemana? Lo gak mau nyulik gue kan?" Selidik Dika.

Damn it!

Ingin sekali Fio menambah lebam yang ada di wajah Dika sekarang. Ditatapnya luka yang berada di tangan Dika, setelah tiga detik menatapnya, Fio memutar bola mata malas.

Dika berjalan ke arah Fio. "Lo yang bawa?"

"Gak! Bapak lo yang bawa."

Dika tertawa sambil menatap tampang datar Fio. "Lo ternyata bisa ngelawak juga ya?"

Fio menghidupkan mesin motornya, ia merasa kalau Dika sudah membuang waktunya.

"Oke-oke. Gue ikut! Gue gak berani pulang dengan keadaan kayak gini," kata Dika sambil menaiki pelan motor Fio.

Hanya beberapa menit, motor Fio sudah terparkir sempurna di garasi rumah mewah itu. Kemudian ia berjalan dengan Dika yang mengikutinya.

"Wah, parah banget lo Fi. Baru pergi bentar aja, udah bawa co-" ucapan Mifta terpotong.

"Anjir, Dika?!" sambung Mifta heboh.

"Lah Mif, lo ngapain di sini?" tanya Dika tak kalah bingung.

"Ini mah rumah sahabat gue, ya gak Fi?"

"Duduk dulu, gue mau ambil kotak obat," ucap Fio kepada Dika tanpa menggubris ucapan Mifta.

Dika mengangguk kemudian ia duduk di sofa depan TV.

Mifta yang memang memiliki sifat kepo akut, langsung mendatangi Dika.

"Eh Dik, lo pacaran sama Fio yak?"

"Fio?" gumam Dika. "Oh jadi namanya Fio." kemudian ia manggut-manggut.

"Lo baru tau? Kok bisa sih? Jadi kalian itu baru kenal? Lo emang ketemu dimana sama Fio?" tanya Mifta semangat.

"Nanya tuh satu-satu." Dika menoyor kepala Mifta. Tak heran lagi, karena mereka sudah berteman sejak kecil.

"Jawab aja elah." Mifta kembali menoyor kepala Dika.

Belum sempat Dika menjawab, Fio datang sambil membawa obatnya.

"Siniin tangan lo!" perintah Fio. Dan Dika langsung menjulurkan tangannya.

"Asik nih, kok gue seneng ya ngeliat kalian," ucap Mifta sambil menaik-turunkan alisnya, bermaksud menggoda kedua sahabatnya itu.

"Berisik," kata Dika dan Fio serempak.

"Wes, selaw-selaw." Mifta kemudian berlari kecil menuju kamar Fio.

***

DORRRR!

Ja, Matta ne :)

DIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang