DUA PULUH SATU

1.9K 137 4
                                    

"Gue cabut duluan, nyet!" Dika menyambar jaket dan kunci mobilnya di atas meja ruangan itu.

"Lo mau ke-"

"Mau jemput ayang-beb gue," balas Dika sambil menunjukkan cengiran khasnya.

"Sok ngartis, bege!"

"Ku pergi dulu, mwah." Dika memajukan bibirnya bermaksud menggoda sahabatnya itu.

"Pergi sana lo, bangsul!" Gerry sudah mengambil ancang-ancang untuk melempar Dika saat itu juga. Sebelum akhirnya Dika sudah berlari keluar dari ruangan tersebut dengan tawa kemenangannya.

Lorong rumah sakit di pagi itu terlihat sepi, dan itu menyadarkan Dika bahwa ia sedang berjalan sendirian.

Pikirannya terus memikirkan tentang keberadaan Fio sekarang.

Ening ala batman, batinnya.

Dirogohnya kantung jaket untuk mengambil ponsel.

Setelah mengotak-atik beberapa detik, diarahkannya ponsel tersebut ke telinga kanannya.

Sudah nada panggilan kelima tapi tidak juga mendapat jawaban.

Dika masuk ke dalam mobilnya, ketika ia sampai di parkiran.

Sepanjang perjalanan Dika terus mengulangi panggilan ke nomor gadis yang sedang memenuhi pikirannya itu.

Dan hasilnya tetap sama.

"Argh!" teriak Dika gusar.

Drt. Drt.

Langsung dialihkannya pandangan ke ponsel di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya tetap menyetir.

Kara : Dik, aku udah di rs, kamu kok gak ada. Kamu di mana?

Dika mengabaikannya. Dilemparnya asal ponsel itu di sebelahnya.

Tiba-tiba Dika teringat dengan rumah pohon. Bisa jadi Fio berada di sana.

Dika menancapkan gas menuju rumah pohon. Ia berharap Fio ada di sana.

Langsung dicarinya Fio di dalam rumah pohon. Tetapi, Dika tidak menemukannya.

Cowok dengan sweater hitam itu kembali berpikir keras.

Tiba-tiba Dika langsung masuk ke dalam mobilnya dan segera mencari ponsel yang dilemparnya asal tadi.

Dika menanyakan keberadaan Fio kepada Daniel di tempat latihan.

Kembali hasilnya tetap sama.

Dia kembali berpikir.

Bandung?

Langsung ditancapkannya gas menuju Bandung siang itu. Ia tetap berusaha untuk berpikir jernih. Agar semua usahanya untuk mencari Fio tidak sia-sia.

Memakan waktu yang cukup lama hingga akhirnya Dika tiba di Bandung sekitar pukul tujuh malam.

Untuk yang kedua kalinya Dika menginjakkan kaki di villa itu.

"Permisi!" Dika mengetuk-ngetuk pintu depan villa tersebut.

Pintu terbuka dengan menampilkan seorang pria dengan kacamata yang sangat cocok dengan kulit putihnya.

Dari penampilannya saja Dika sudah tau bahwa orang di depannya ini adalah orang baik-baik dan sepertinya orang ini lebih tua dari Dika.

Alhamdulillah, masih gantengan gue kok, hehe, batinnya.

"Nyari siapa?" Tanyanya dingin.

Dika berdehem. "Nyari Fio, bang," jawab Dika berusaha sopan dengan memanggil orang itu dengan sebutan 'abang'.

DIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang