DUABELAS

2.8K 235 34
                                    

Sebenarnya Dika sangat bingung bagaimana harus menyikapi keadaan Fio sekarang. Setelah hampir setengah jam saling berdiam diri, dengan Fio yang masih menatap makanan yang ada di hadapannya dengan tatapan kosong.

Berusaha untuk memecah keheningan, Dika berdehem yang membuat Fio mendongakkan kepalanya untuk menatap Dika.

"Gini deh, setiap orang ada titik kelemahannya masing-masing," kata Dika langsung keintinya. "Walaupun lo ngerasa diri lo kuat buat menghadapi semua masalah sendirian, itu gak salah. Tapi jangan karena keras kepala lo itu, malah ngebuat diri lo jadi bener-bener merasakan yang namanya jatuh sejatuh-jatuhnya." Dika nampak menghirup napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya, "gue tau sekarang diri lo lagi gak baik-baik aja. Gak ada salahnya kalo lo sedikit terbuka atau berbagi sama orang lain. Itu bakalan ngebuat lo jadi lebih lega dari sebelumnya. Jangan lo simpan sendiri," kata Dika sambil menatap manik mata milik Fio.

Untuk kesekian kalinya Fio nampak menarik napas panjang berusaha untuk menahan tangisnya agar tidak tumpah. Sangat jarang atau bahkan tak pernah Fio menangis di depan orang lain. Ia akan berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja di depan semua orang.

"Di sini gue bukan maksa supaya lo cerita tentang masalah lo sama gue, gue cuma pengen lo jadi pribadi yang mau terbuka atau setidaknya sedikit terbuka sama orang lain," ucap Dika tenang.

Tegukan terakhir dari minuman bersoda milik Dika yang dibelinya di minimarket sebrang jalan tadi membuat Fio semakin menatap lekat wajah Dika yang mempunyai rahang tegas itu. "Jangan liatin gue gitu, entar kalo lo naksir sama gue ribet urusannya." Dika berupaya untuk mencairkan suasana. Tidak ingin semakin memperburuk masalah.

"Lo emang gak ada niatan buat makan tuh makanan? Seharusnya tadi lo bilang kalo lo gak mau makan, jangan pas udah dipesen gini, mubazir 'kan jadinya?" Dika nampak beranjak dari kursinya menuju si penjual dan mengatakan sesuatu.

Fio yang sedaritadi hanya diam langsung mengalihkan pandangan ke arah makanan yang sudah lebih dari setengah jam dia biarkan. Mencoba membuat nafsu makannya hadir, Fio memegang sendok makan itu lalu akan menyuapkan nasi itu ke mulutnya sebelum tangan Dika menahan pergerakannya.

"Jangan dimakan lagi. Itu nasi udah dingin, nanti perut lo jadi sakit," cegahnya.

"Ini pesanannya, nasi ayam bakar komplit," kata si penjual tadi sambil tersenyum ramah.

"Oke, makasih Kang Sup!" Dika menyodorkan dua lembar uang seratus ribu kepada Kang Supri sebagai bayaran. "Kembaliannya buat Kang Sup aja, hehe."

"Pulang?" Tanya Fio akhirnya. Dika mengangguk lalu berjalan menuju mobilnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, Dika dan Fio masih berada di jalan dalam keheningan. Keadaan yang membuat Dika ingin sekali meneriaki orang yang berada di sampingnya saat ini juga.

"Jangan ke rumah gue."

"Hah? Maksud lo?" Dika langsung mengarahkan pandangan ke samping kirinya.

"Gue gak mau pulang," kata Fio memperjelas.

"Jadi lo mau kemana?" Tanya Dika benar-benar tak mengerti jalan pikiran Fio.

Yang ditanya hanya diam seribu bahasa. Bahkan Dika mengambil kesimpulan bahwa Fio juga tidak tahu ke mana tujuannya.

"Lo mau ke tempat Mifta?" Dika mulai berpikir. "Eh, tapi jam segini siapa juga yang mau terima tamu datar kayak elo, ya?" Kekehan geli terdengar dari mulut Dika. Membuat Fio langsung menatapnya tajam seperti ingin menerkamnya.

"Santai, santai, gue cuma becanda kok," ucap Dika menyudahi tawanya. "Jadi gimana dong?"

Lagi-lagi Fio terdiam. Dika nampak berpikir keras, menanyakan hal itu pada manusia dingin di sampingnya itu bukanlah menjadi solusi yang tepat.

Setelah memikirkannya selama beberapa menit, Dika sudah memutuskan ke mana dirinya akan membawa Fio, dan untungnya lalu lintas yang sunyi itu membuat Dika dengan mudah untuk melesat cepat untuk sampai ke tujuannya.

"Ayo, turun." Dika berkata sambil mematikan mesin mobilnya, sebelum ia menyadari kalau Fio sudah tertidur pulas di sampingnya.

Dan hal itu membuat Fio tidak memakan pesanan yang dibelikan Dika untuknya tadi.

'Nasi Ayam Bakar' kedua yang dilewatkan Fio hari ini.

Helaan napas menjadi tanda bahwa Dika harus ekstra sabar untuk mengahadapi gadis ini. Dika membuka pintu tempat Fio berada lalu tanpa aba-aba langsung menggendong Fio di punggungnya mengingat ia harus menaiki tangga kecil lebih dulu agar sampai di rumah pohon itu.

Ya, Dika membawanya ke rumah pohon.

Karena menurutnya, untuk membawa seorang perempuan ke rumahnya tengah malam begini akan menjadi masalah dengan orangtuanya. Jadi ia berpikir lebih baik cari aman saja.

Setelah sampai di atas, Dika meletakkan Fio di atas kasur kecil satu-satunya yang ada di situ.

Merasa lelah, dia pun ikut menidurkan dirinya di atas karpet dengan sebuah bantal yang tak jauh dari Fio.

***

Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah jendela rumah pohon itu menyilaukan mata dari seorang gadis yang tadinya tertidur pulas. Membuat si empunya langsung bergerak dan mendudukkan dirinya di atas kasur tipis itu.

Berusaha untuk mengumpulkan tenaganya untuk bangkit, ia malah terkejut melihat Dika yang sedang tertidur dengan jarak yang tak jauh darinya. Fio teringat tentang kejadian yang menimpanya semalam.

Tak habis pikir dengan kelakuan Ayahnya yang tiba-tiba menyuruhnya untuk datang ke suatu tempat, lalu tanpa disangka-sangka langsung menampar pipinya begitu saja hingga membuat pipi gadis itu memerah.

Dengan langkah gontai, Fio keluar menuju teras rumah pohon itu. Menikmati angin yang berhembus di pagi hari dengan pemandangan indah di depannya. Dipegangnya pipi yang merupakan bekas tamparan dari Ayahnya itu. Dan ia kembali menangis dalam diam.

Sebuah tepukan mendarat di bahu sebelah kanan Fio. Membuat Fio langsung menghapus air matanya dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Lo nangis lagi?" Suara khas bangun tidur membuat Fio mengalihkan pandangannya ke arah manusia tampan di sampingnya.

Fio menggeleng. Tetap menunjukkan ekspresi dinginnya.

"Jadi mata bengkak sama hidung merah lo gara-gara apa? Kena cium sama ikan cupang? Atau kena pipis kecoa makanya bengkak?" Tanya Dika santai.

"Lo gak sekolah?" Fio mengalihkan pembicaraan.

"Gue udah biasa bolos sekolah," ucap Dika sambil menggaruk tengkuknya yang mendadak gatal. "Lo gak masuk sekolah, gak pa-pa emang?"

"Gue lagi males sekolah."

"Oooh." Dika mengangguk mengerti.

Dika tahu kalau gadis di sampingnya itu mengalih-alihkan pembicaraan. Tetapi Dika tak mau mempermasalahkannya sekarang. Menurutnya, lebih baik ia menunggu sampai Fio benar-benar sudah siap untuk bercerita.

"Jalan-jalan mau?" Tawar Dika.

"Ke mana?"

"Yaaaa, ke mana aja kek. Cari makan? Lo belum makan dari tadi malam 'kan?" Dika bangkit lalu berjalan masuk untuk mengambil kunci mobilnya.

"Gue suka tempat ini," kata Fio setelah Dika kembali keluar.

Dika mengangguk. "Ini tempat yang selalu gue datengin kalo gue lagi ngerasa suntuk atau gak tenang. Lo boleh dateng ke sini lagi kok, kalo lo pengen." Senyuman tulus yang Dika tunjukkan ke arah Fio membuat Fio seketika tertegun melihatnya.

"Jadi pergi gak? Lo mau di sini aja?" Dika sudah menuruni tangga itu dengan tawa kecilnya yang khas.

Fio menatap badan Dika yang semakin menjauh. Lalu tanpa disadarinya, ia tersenyum.

Segera ia menuruni tangga itu dan menyusul Dika yang sudah menunggunya di dalam mobil.

***
Ujian udah selesai hm.

Tapi diriku masih kepikiran hiks :') *apasihhwhw

Di part 12 ini khusus partnya Dika dan Fio jsnsnsjdjsjshsjsdk :v

Ehem, btw jangan lupa vomment-nya yaw!

See you :)

DIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang