Part 5 : Merasa ditemani

841 164 5
                                    

Obat yang terdiam di dalam mulut akan terasa pahit namun lama-lama akan melebur. Sama seperti masalah, dipendam akan pahit namun lama-lama akan melebur ~

"Kenapa?" Tanya Zaidan saat Safira menatapnya dari bawah.

"Bekas kamu?" Zaidan melihat tissue itu. Tiba-tiba ia menjadi kesal.

"Iya." Jawab Zaidan cuek lalu menutup tubuhnya menggunakan selimut. Tubuhnya sudah terbaring di atas kasur.

Alis Safira berkerut. Mungkin ini salah satu sifat Zaidan. Wajar saja Safira sedikit kaget akan sifat Zaidan yang berubah-ubah, karena mereka baru mengenal bahkan baru bertemu satu hari.

Kepalanya menunduk ke bawah lagi. Tissue itu langsung dibuang ke tempat sampah dan juga kotak susunya.

Tubuhnya berdiri dan berjalan ke kasurnya untuk tiduran kembali seperti tadi. Mungkin tiduran adalah hal yang akan sering dilakukannya selama di rumah sakit. Memangnya apalagi yang bisa ia lakukan selain ini? Berjalan sebentar saja langsung lelah. Buktinya sekarang nafas Safira tercekat. Kesusahan bernafas. Jarinya memencet hidungnya dan membukanya lagi agar bisa bernapas namun masih sama, sesak.

Perutnya naik turun seperti dadanya. Rintihan kecilnya terdengar oleh Zaidan yang ada di sampingnya. Lelaki itu menoleh ke arah Safira dan matanya langsung melotot. Padahal tadi perempuan itu baik-baik saja.

Dengan cepat, Zaidan memencet tombol yang ada di tembok. Berguna untuk memanggil suster yang memang sudah ditugaskan di ruangan ini. Di sisi lain, Tika yang mendengar panggilan itu langsung ke ruangan 25.

"Sa-saya susah naffas, Sus." Ucap Safira terbata-bata.

Tika langsung memasangkan alat pernapasan pada hidung Safira dan melakukan usaha lain agar Safira bisa kembali bernafas dengan normal. Akhirnya perut serta dada Safira tidak naik turun lagi. Helaan nafas keluar dari mulut Safira. Ternyata bukan hanya dari Safira, melainkan dari Zaidan juga karena ia khawatir.

Tika duduk di kursi, tangannya memijit pelan lengan Safira.

"Makasih, Sus." Ucap Safira dan Tika pun mengangguk.

"Sebenarnya ini boleh dilepas, tapi jangan terlalu lama ya." Tika menunjuk alat-alat yang ada di tubuh Safira menggunakan matanya.

Safira diam sebentar. Tidak boleh lama-lama, padahal tadi ia sangat sebentar melepas semua ini.

"Oh iya, Zaidan. Kamu sudah minum obat?" Tanya Tika kepada Zaidan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya, membuat Tika menghela napasnya kasar. Tugasnya bertambah lagi, ia kan ingin istirahat juga.

Tika berdiri dan mendekati lemari obat yang ada di samping kasur Zaidan, namun bukan di pertengahan antara kasur Zaidan dan kasur Safira.

Pintu lemari dibuka dan tangannya mengambil salah satu obat yang memang biasanya diminum oleh Zaidan sehabis makan. Setelah mendapatkan obatnya, tangannya mencari salah satu obat untuk Safira juga. Lalu ditutup pintu lemarinya saat sudah mendapatkan apa yang dibutuhkan.

Hanya membutuhkan beberapa langkah, Tika duduk di kursi samping kasur Zaidan. Gelas yang berisi air putih masih ada di atas meja. Gelas itu diambil oleh Tika dan bersamaan Zaidan sudah duduk di kasurnya karena tau ia akan minum obat.

"Nih, minum sendiri ya."

Zaidan mengambil obat dan gelas dari tangan Tika. Obat sudah ditelan dan dengan cepat Zaidan langsung meminum airnya. Gelas disimpan di atas meja lagi. Setelah itu, Zaidan tiduran lagi seperti biasa. Benar kan dugaan Safira? Tiduran akan menjadi kebiasaan.

Tika kembali berdiri dan duduk di kursi Safira.

"Tiduran aja," cegah Tika saat melihat Safira hendak duduk.

Akhirnya Safira tetap dalam posisinya sambil menatap obat itu. Obatnya diterima oleh Safira dan langsung diminum olehnya.

Tangan Tika mengambang di atas meja Safira. Ada gelas yang berisi air putih, namun ia ingat bahwasannya Safira tidak menyukai air putih.

"Ini air putih aja gapapa?" Tanya Tika dan Safira langsung mengangguk karena tidak kuat menahan pahitnya obat di dalam mulut, walaupun lama-lama mencair. Seperti masalah, dipendam akan pahit namun lama-lama tetap akan mencair.

Safira memegang gelas itu dan pelan-pelan meminum airnya. Gelas itu diterima lagi oleh Tika dan disimpan di atas meja. Safira berhasil menelan obat itu dengan bantuan air putih.

Hati nya tiba-tiba menjadi tidak tenang. Dan benar, sedetik kemudian ia tiba-tiba muntah darah. Selimut dan bajunya terkena muntahan darahnya. Mereka yang melihat itu langsung kaget.

"Astaghfirullah." Tika menutup mulutnya karena kaget.

Lalu terdengar suara Safira yang batuk-batuk. Sedikit darah keluar dari mulut Safira.

"Sa-saya ambil baju ganti dulu," Tika berdiri dan keluar dari ruangan ini. Tika berlari tentunya.

Tangan Safira hendak membersihkannya dengan tissue, namun tidak jadi karena ia pikir itu percuma, toh ia akan ganti baju.

Tak lama kemudian, Tika datang dengan baju putih polos di tangannya. Baju itu sementara disimpan di atas kasur Zaidan yang ternyata lelaki itu sudah duduk di kasurnya.

Tika melepas alat yang ada ditubuh Safira dan menuntun gadis itu turun dari kasur. Baju untuk Safira dilihat-lihat oleh Zaidan, terlalu kecil menurutnya. Apakah badan Safira sekecil itu?

Tika menuntun Safira berjalan menuju kamar mandi yang memang ada di ruangan ini. Zaidan menatap kaki Safira yang berjalan dengan lemas, seperti diseret.

Mereka berdua sudah masuk ke dalam kamar mandi. Tika keluar lagi karena lupa mengambil baju untuk Safira. Di dalam, Tika menggantikan baju Safira yang kotor dengan baju putih polos yang baru.

Mulut Safira juga dibersihkan dengan tissue. Badan Safira hanya menurut saja, ingin membantu diri sendiri pun susah karena lemas.

Kedua perempuan itu keluar dari kamar mandi dengan Safira yang masih dituntun berjalan oleh Tika. Safira kembali tiduran di atas kasur, kasurnya tidak terkena darah, masih putih polos.

Zaidan mengerutkan dahinya menatap badan Safira. Bajunya pas di tubuh Safira. Tidak menyangka bahwa tubuh Safira sekecil itu.

"Tidur ya, kayanya tubuh kamu masih butuh istirahat. Nanti siang saya panggilkan dokter." Ucap Tika dan Safira mengangguk pelan.

"Saya keluar dulu," nyatanya Tika tidak keluar, ia mengambil baju kotor milik Safira di kamar mandi dahulu barulah ia keluar dari ruangan ini.

Mata Safira terpejam, Zaidan menatapnya dari samping. Zaidan juga tiduran, ia ingin tidur daripada tidak ada kegiatan. Sebenarnya ia ingin mengajak berbicara Safira, seperti mengenal lebih dalam. Namun, niatnya ia urungkan saat melihat kondisi Safira yang sedang parah.

Matanya masih menatap Safira dari samping. Lalu tubuhnya menghadap ke kiri, memunggungi Safira. Bibirnya tersenyum kecil, serta matanya berbinar. Bukan karena ia suka atau jatuh cinta kepada Safira, hanya saja ia tidak merasa kesepian lagi. Ada manusia yang menemaninya, walaupun belum menemani tapi Zaidan sudah merasa ditemani.

Tika bilang siang hari dokter akan datang untuk mengecek keadaan Safira. Kemungkinan besar Safira akan bangun, dan jika keadaannya membaik maka Zaidan akan mengajak Safira mengobrol.

Zaidan tunggu waktu itu.

Can we surrender? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang