"Canda elah, serius amat,"
Di saat emosinya sudah naik ke ubun-ubun, kini runtuh seketika saat mendengar ucapan Aidan.
"Dok, jangan bikin saya emosi deh,"
"Ya lagian anda serius amat. Kalo masih stadium awal sekitar 40-50 persen dia bisa bertahan hidup sampai 5 tahun. Nah kalo stadium lanjut sekitar 1-5 persen angka harapan hidupnya, itu juga kankernya enggak bisa di operasi lagi."
"Oh. Udah pergi sana, saya mau tidur,"
"Ini keadaan kamu gimana? Rada mendingan?"
Zaidan mengangguk pelan. "Lumayan sih, cuma agak susah nafas aja,"
"Oh iya Zaidan, tadi tumor di tubuh kamu udah menyebar. Saya takutnya stadium kamu malah naik ke stadium 3. Nanti besok ada pengecekan lagi, besok juga kayanya Safira sudah siuman."
"Beneran menyebar, Dok? Banyak?"
Aidan mengangguk. "Enggak banyak banget. Tapi segitu sih lumayan menyebarnya, kayanya juga kamu bakal operasi lagi tapi tunggu kondisi tubuh kamu sehat dulu,"
"Oh. Kalo dia gimana?" Zaidan menunjuk Safira menggunakan kepalanya.
"Enggak tau, kan saya bilang besok mau ada pengecekan lagi," tekan Aidan.
Ceklek
Pintu ruangannya terbuka, seperti biasa yang masuk adalah Tika dengan piring dan gelas di tangannya.
"Yuhuu! Makan siang!!" Ucap Tika dengan semangat.
Keduanya menoleh ke arah Tika yang sedang berjalan menuju meja untuk menyimpan gelas dan piring.
Aidan berdiri seiring Tika menyimpan benda-benda itu. "Tika, besok ada pengecekan. Tolong persiapkan Zaidan ya, sama Safira juga barangkali dia bangun,"
"Oke, Dok!" Balas Tika.
"Baik, saya langsung tinggal ya." Aidan pun keluar dari ruangan ini.
Tika mengambil alih kursi untuk diduduki. Tika menatap Zaidan sebentar. Jari jemari lelaki itu menyisir rambutnya sekilas.
Matanya terpesona seketika. "Kamu ganteng banget sih, Dan."
Zaidan mendelik kepada Tika. "Lah baru nyadar kalo saya ganteng?"
Tika berdecak kesal. Sekali dipuji kalah sombong.
Daripada berdebat, Tika memilih untuk menyuapi Zaidan.
"Tadi dokter ngomong apa aja?"
"Ck, kepo."
"Dih apaan sih." Kesal Tika. Ditanya serius malah jawab seperti itu, bagaimana ia tidak kesal.
Tika membawa piring dan gelas itu keluar. Zaidan masih ada di atas kasur. Matanya melamun, tidak memikirkan apa-apa.
"Zaidan...," Zaidan berpaling ke Safira.
Zaidan memperhatikan raut wajah Safira yang pucat. Kepala Safira menghadap sedikit ke arah Zaidan.
"Pusing,"
"Ka-kaya mau muntah,"
Kepala Zaidan langsung mengangguk dengan mimik wajah yang kaget. Tangannya turun ke bawah untuk memencet tombol bantuan. Karena tangannya yang agak panjang, tombol pun berhasil ditekan.
Tit
Setelah ditekan, Suster belum juga datang. Namun ia yakin mereka bisa mendengar. Pintu akhirnya terbuka, harapan Zaidan agar Suster datang pun terkabul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Teen FictionSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...