Part 29 : Hari berduka

874 81 4
                                    

"Udah dimandiin, Bu?" Tanya Talita kepada Meli yang baru saja datang dengan mendorong kasur yang di atasnya tergeletak sosok Safira.

Mereka bergotong royong untuk memakaikan kain kafan ke tubuh Safira. Mereka yang dimaksud adalah Meli, Talita, Ratu, dan perempuan lainnya yang merupakan saudara Safira.

Ratu memakai mukena miliknya. Matanya menuju pada jenazah Safira yang sudah terbalut dengan kaki kafan putih.

Setelah selesai, jenazah Safira pun disholatkan.

•••

"Baru dimulai tapi kamu sudah menyerah, Ra. Jadi bingung mau menentukan siapa yang menang dan yang kalah," ucap Zaidan sambil menatap batu nisan yang menuliskan nama Safira dan nama Ayahnya itu.

Kenangan indah bersama Safira langsung terlintas di otaknya. Hatinya berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengabulkan doanya berupa teman seperti Safira.

Walaupun pada akhirnya, tangannya hanya bisa mengelus batu nisan yang menuliskan nama temannya itu. Zaidan menganggap gadis itu sebagai teman, namun dilebihi dengan rasa spesial.

Di bahunya ada yang meletakkan tangan, saat kepalanya menoleh barulah ia mengetahui bahwa Tika meletakkan tangannya di pundak Zaidan. Sebagai bentuk rasa kasihan dan turut berduka cita. Tika juga ikut sedih, karena ia menganggap Safira seperti adiknya sendiri.

"Zaidan udah ya? Yu pulang. Enggak baik lama-lama disini," ajak Tika pelan-pelan.

Zaidan menatap Tika kemudian beralih ke makam itu lagi.

"Emang harus sekarang ya, Ka?"

"Menurut kamu aja gimana? Kamu kan lagi sakit,"

Saat melihat pergerakan Zaidan yang hendak berdiri, Tika langsung membantu Zaidan untuk duduk di kursi roda.

Zaidan sudah duduk dan siap untuk pergi walaupun hatinya masih menginginkan untuk menetap disini. Kepalanya bergantian menatap Ratu, Talita, Arka dan beberapa orang yang merupakan temannya Safira.

"Saya pulang dulu ya." Pamit Zaidan.

"Iya hati-hati," balas Talita dan Ratu bersamaan.

Talita berada di samping Arka. Sedangkan Ratu berada di hadapan Talita yang hanya terbatasi dengan makam Safira.

"Gue mau pulang, Lo mau ikut?" Tawar Arka kepada Talita. Respon Talita hanya menggelengkan kepala. Otaknya sedang memikirkan Safira, masalah pulang adalah urusan belakangan.

Arka beralih ke arah Ratu, ternyata gadis itu tengah memandanginya dan langsung menundukkan pandangan saat melihat Arka menatapnya. Tanpa menyapa atau izin, Arka langsung berdiri bersiap untuk pergi.

"Aku boleh ikut enggak? Soalnya gak ada yang jemput," cicit Ratu.

Talita menatap Ratu. Entah rencana apa lagi yang dilakukan temannya itu. Bahkan di saat-saat seperti ini, gadis itu masih melancarkan aksinya.

"Lo pulang sendiri bisa kan? Kaya biasa aja Lo pulang tanpa Gue, jangan tiba-tiba kaya gini Rat, enggak lucu." Bijak Arka. Toh, biasanya juga Ratu pulang sendirian tanpa dirinya. Walaupun tidak ada yang menjemput, gadis itu pun biasanya tetap keukeuh untuk pulang sendiri, lebih tepatnya menghindari Arka.

"Lupa enggak bawa uang, Ka. Kali ini aja ya? Sama minta maaf untuk sebelumnya kalo Gue selalu nolak Lo,"

"Lo kenapa sih? Tiba-tiba deketin Arka, di saat kaya gini pula?" Sindir Talita.

"Kali ini aja deh janji, soalnya Gue gak bawa uang. Sama harus buru-buru ke rumah sakit buat jenguk Ayah."

"Ya udah ayo," pasrah Arka. Di saat kondisi hatinya yang sedang kehilangan, kini kehadiran Ratu tidak membuat hatinya merasa terpenuhi lagi. Dulu memang pernah berharap Ratu kembali, namun itu dulu, sekarang harapannya Safira lah yang kembali.

Ratu tersenyum kecil kemudian berdiri dan menyusul Arka yang sudah berjalan menuju motor parkiran.

Saat Ratu mendekati Arka, ternyata lelaki itu sudah naik ke motornya dan motor ninja nya itu sudah dinyalakan.

"Naik," titah Arka dari dalam helmnya.

Tangannya terulur memegang pundak Arka sebagai pegangan agar tidak jatuh saat naik. Lalu duduklah Ratu di belakang Arka.

Arka menjalankan motornya untuk mengantar gadis ini sampai ke rumahnya, seperti keinginan Ratu.

Sedangkan di sisi lain, Talita masih duduk di tempatnya walaupun orang-orang perlahan mulai berpergian dari sini.

Suasana terasa panas. Matahari masih menunjukkan dirinya. Keringat pun perlahan turun di tubuhnya. Panas tidak membuat Talita pergi dari sini.

"Gue sedih banget lo pergi. Walaupun Lo cuma sebatas teman, tapi gue sayang sama Lo, Ra. Lo teman Gue, yang selalu bareng saat di sekolah. Sekarang Gue cuma berdua sama Ratu, eh malah dia udah lupa diri," curhatnya di hadapan kuburan itu.

Tak jauh dari Talita, ada Meli yang sedang duduk. Tubuhnya naik turun akibat kondisinya setelah menangis. Beberapa orang menenangkan dirinya.

"Sayang. Udah ya jangan nangis lagi, bagaimanapun juga kita harus melepaskan Safira. Biarin dia sendiri disana okay? Sekarang dia bukan urusan kita lagi, melainkan urusan Tuhan." Meli melirik ke arah kiri, Gema duduk di sampingnya.

Gema pun merasa kehilangan. Ada niatan ingin menangis tapi ia tidak bisa menangis di hadapan umum seperti ini.

"Kamu enggak merasa kehilangan?! Dia anak kita lho! Satu-satunya karena aku enggak bisa punya anak lagi, Gema!"

"Merasa kehilangan kok. Tapi kamu sama Safira itu mirip, aku masih ada Safira versi ibunya." Tiba-tiba Meli cegukan. Tangannya melayang untuk memukul bahu Gema.

"Aduh!" Lirih Gema saat Meli memukul bahunya. Tidak terasa sakit sih sebenarnya.

"Kamu mah! Orang lagi sedih gini malah gombal! Gak lucu!"

"Iya-iya. Mau bikin Safira senang?"

"Apa?" Tanya Meli jutek.

"Kata kamu Safira pernah minta buat bagiin barang-barang dia...,"

"Ah iya. Mau sekarang? Besok aja deh ya, aku lagi down banget."

"Hm okay." Balas Gema. Gema beralih menatap Talita, teman anaknya itu.

Melihat seseorang yang seumuran dengan anaknya, membuat dirinya langsung teringat dengan Safira yang baru saja pergi.

Terlihat Safira sedang memeluk Talita, namun Talita masih dalam posisinya seperti tak menyadari kehadiran Safira.

Matanya melotot saat melihat Safira berdiri menghadapnya. Tangannya melambai-lambai seperti orang ingin pergi dengan bahagia karena senyumannya yang mengembang di wajah.

Safira berjalan mendekati Meli. Meli masih menatap kosong ke arah kuburan Safira. Air matanya sudah tidak keluar namun matanya masih memerah.

Ibu itu dipeluk oleh anaknya yang sudah pergi. Dan Sang Ayah hanya bisa menonton dan memastikan bahwa ini hanya khayalannya.

Pelukan erat itu nampak jelas di hadapan Gema. Namun tidak reaksi apapun dari Meli.

Gema memejamkan matanya sebentar, sekitar lima detik dan membukanya lagi. Tidak ada sosok Safira di hadapannya.

Tangannya terulur untuk menggenggam tangan istrinya. Lalu memeluknya juga, Meli pun kembali menangis lagi.

"Kita lewatin ini bareng-bareng ya? Kita enggak berdua, tapi berempat."

Meli ingin bertanya tapi takut suaranya tidak jelas alhasil ia diam karena Gema pun pastinya tau bahwa Meli penasaran.

"Berempat yang aku maksud itu...aku, kamu, Safira, dan Tuhan."

Can we surrender? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang