Langit berubah menjadi sore hari. Awan berwarna abu-abu dan gelap, tanda hujan akan turun walaupun belum tentu.
Safira dan Zaidan sedang fokus makan sendiri-sendiri.
Di tengah kegiatan makannya duduk di kasur, Safira teringat ucapan ibunya. Kepalanya menoleh ke arah Zaidan. Bisa ditebak dari sebelum menoleh bahwa Zaidan juga sedang sibuk makan sepertinya.
"Besok kamu operasi ya?" Respon Zaidan langsung mengangguk. Tadi, dia juga mendengar percakapan kecil antara Safira dan ibunya.
"Tujuan operasi kali ini apa?"
"Untuk mengangkat jaringan. Enggak tau jenis apa, tapi nanti juga dikasih tau kok sama suster Tika,"
Zaidan sudah selesai makan. Lelaki itu menyimpan piringnya di atas meja, lalu mengambil gelas yang berisi air putih dan meminumnya. Safira yang melihat itu langsung beralih kepada makanannya, dan fokus makan. Saat habis, ia melakukan hal yang sama seperti Zaidan.
Gelas itu belum tersentuh bibirnya. Air putih yang ada di dalam gelas ditatap oleh Safira. Kini, ia terbiasa minum air putih. Berbeda dengan yang dulu.
"Gak ada racunnya kok," tegur Zaidan. Safira melirik Zaidan lalu meminum air itu. Tidak ada rasanya memang.
Ada air yang tumpah ke selimut. Safira menyimpan gelasnya di atas meja. Gadis itu melihat bagian selimutnya yang basah.
"Kamu punya hp?"
"Punya lah, jaman sekarang kebanyakan orang pasti punya hp," jawab Safira logika. Hp sudah bagaikan teman yang menemani. Bahkan ada orang yang menciptakan kehidupan di dalam ponsel, karena ia kesepian di dunia nyatanya.
"Minta nomor kamu boleh?" Safira menengok ke arah Zaidan. Lelaki itu tengah memandanginya sambil tiduran.
"Sok catet. Memangnya kamu bawa hp?"
"Enggak sih, nanti aja kalo saya bawa hp gitu,"
Safira mengangkat bahunya acuh seraya berkata. "Oke,"
"Eh iya, kamu dapet kamera itu darimana? Punya siapa?" Ia tidak jadi tiduran karena teringat kamera tadi.
"Punya saya. Pas teman-teman saya jenguk, dia bawa kamera saya. Terus disimpan disini deh,"
"Kok bisa kamera kamu dibawa sama mereka?"
"Mereka ke rumah. Ngiranya ada saya di rumah, terus pas mereka bilang mau foto-foto buat kenangan, ibu bilang pake kamera saya aja soalnya mereka enggak punya kamera,"
Masuk akal, Safira pun mengangguk paham dan mengucapkan, "Oh gitu,"
"Iya," balas Zaidan.
Safira tiduran di atas kasurnya.
Menatap ke atas. Memikirkan tentang operasi. Satu pertanyaan timbul di otaknya, apakah ia akan tetap hidup atau akan meninggal karena operasi itu?Tangannya melipat di atas perut dengan otak yang masih memikirkan hal yang sama. Otaknya begitu jahat, berpikir bahwa Safira akan meninggal padahal belum tentu. Tapi, belum tentu juga Safira akan selamat. Rupanya, otaknya tidak terlalu jahat.
"Zaidan. Kira-kira aku selamat enggak ya pas operasi?"
"Jangan mikir yang enggak-enggak. Berpikir positif aja. Kamu selamat kalo kondisi kamu stabil, makannya kan ditanya kondisi kamu rasa mendingan atau gimana biar enggak salah." Jawab Zaidan.
"Eum benar juga sih. Kamu operasi disini berapa kali?"
Belum ada balasan dari Zaidan. Sepertinya lelaki itu tengah menghitung dan mengingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Roman pour AdolescentsSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...