<Aku dan kamu>
Tidak ada suara manusia yang terdengar. Hanya ada suara tirai jendela yang diterobos oleh angin. Dua insan yang berada di ruangan yang sama, tetap saling mengunci mulutnya. Antara malu dan memang tidak ingin kenal.
Namun, sesekali Safira melirik Zaidan. Hanya untuk memastikan apakah lelaki itu sudah tidur atau belum. Jam dinding pun dilirik oleh Safira. Sudah pukul 20.07 dan sepuluh menit yang lalu Meli baru saja pulang.
Lagi-lagi Safira melirik ke arah Zaidan, namun kali ini kepalanya ikut menghadap ke Zaidan. Lelaki itu ternyata sudah memejamkan matanya, tapi kembali terbuka karena merasa ada sesuatu yang janggal.
"Kenapa?" Tanya Zaidan yang matanya menatap Safira juga.
Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya ke jam dinding. Kemudian ia menggelengkan kepalanya pelan.
"Enggak bisa tidur ya?" Tebak Zaidan.
Yang dikatakan Zaidan itu benar apa adanya. Di satu sisi kepala Safira sangat pusing yang membuat dirinya tidak bisa tidur, dan disisi lain ia tidak bisa tidur karena ada laki-laki yang satu kamar dengannya. Namun, jika dirinya sendirian di ruangan seperti ini ia tetap tidak bisa tidur karena ketakutan.
"Tutup aja matanya, nanti juga tidur kok. Kalo pusing diemin aja, jangan dipikirin nanti malah tambah pusing," ujar Zaidan yang langsung dipraktekkan oleh Safira.
Mata Safira sudah tertutup. Otaknya sebisa mungkin berhenti memikirkan itu. Dan, berhasil lah ia tertidur.
Zaidan melakukan hal yang sama dengan Safira. Bedanya saat lima belas menit kemudian, mata Zaidan terbuka. Belum tidur, hanya matanya saja yang tertutup.
"Safira."
"Safira!" Panggil Zaidan satu menit kemudian.
Badan Safira bergerak pelan. Dadanya naik turun, hidungnya nampak bergerak pelan saat mengambil dan mengeluarkan nafas.
Tangan kiri Zaidan menurun ke bawah kasur mengambil sesuatu. Tangannya mendapatkan kayu panjang yang dibalut kain sehingga tidak terasa keras, hanya terasa lembutnya kain. Zaidan menepuk pundak Safira menggunakan benda itu. Saat tidak mendapatkan reaksi dari Safira, artinya gadis itu benar-benar sudah tertidur.
Tangannya menurun kebawah untuk menyimpan kayu itu lagi. Kayu itu dibuat oleh salah satu temannya, katanya untuk memanggil teman sekamar barangkali tekan sekamarnya tidak bisa mendengar. Tapi, kayu itu tetap berguna.
Kedua tangannya lengkap di atas kasur. Mata lelaki ini menatap ke atas. Dadanya naik ke atas dan turun ke bawah lagi beriringan dengan menghela napasnya pelan.
"Padahal mau cerita," gumamnya.
"Uhuk uhuk!" Tangan kanannya langsung mengambil tissue yang ada di meja.
Telapak tangan kanan ditutupi dengan tissue agar darah yang keluar tidak mengenai dirinya. Mulutnya ditutup dengan tangan saat merasa dirinya ingin batuk lagi.
"Uhuk uhuk uhuk!"
Tenggorokannya bergerak saat menelan sesuatu. Sepertinya itu darah yang bercampur dahak yang tak sengaja ditelan olehnya. Matanya menyorotkan kelemahan. Tangannya dijauhkan dari mulutnya dan melihat tissue yang sudah berubah menjadi warna merah, hanya ada beberapa bagian yang masih berwarna putih.
Ketika tangan kirinya mengambil tissue itu, di telapak tangan kanan membekas lah darah itu. Tissue nya langsung dibuang ke tempat sampah yang berada di samping kirinya. Ia tidak melihat bahwa tissue nya tidak masuk ke tempat sampah.
Badannya berdiri. Ia melepas alat-alat yang menyangkut dirinya. Lalu ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Benar-benar benci saat melihat darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Teen FictionSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...