Tiba sore hari. Suster Nabila datang ke ruangan Safira untuk memberi makan gadis itu. Safira disuapi oleh Nabila. Biasanya Tika, mungkin Tika sedang sibuk.
Suasana di antara mereka berdua begitu canggung. Nabila hanya menyuapi dan Safira hanya mengunyahnya saja. Terdengar juga suara sendok dan piring.
Ketika suapan terakhir sudah masuk ke dalam mulut Safira, Nabila langsung mengambil gelas berisi air yang ada di atas meja. Lalu gelas itu disodorkan kepada Safira. Gadis itu langsung menerimanya, sudah terbiasa minum air putih.
"Makasih, Sus." Ucap Safira sambil mengembalikan gelas itu setelah diminum airnya.
"Oke." Gelas itu dipegang oleh Nabila dengan tangan kirinya. Tangan kanannya terulur untuk mengambil piring kotor tadi di atas meja.
Nabila berdiri. Kepalanya menatap ke bawah, menuju ke Safira.
"Saya tinggal enggak apa-apa nih?" Tanya Nabila memastikan. Walaupun memang biasanya ditinggal, tapi Nabila hanya khawatir Safira takut karena besok jadwalnya ia operasi.
"Enggak apa-apa, Sus."
Ada satu pertanyaan di otak "Suster. Boleh nanya enggak?" Mata Safira juga menuju kepada Nabila.
"Iya, silahkan."
"Kalo abis di operasi, kira-kira siuman nya kapan ya?"
"Eum tergantung sih, paling cepat sehari bangun, tiga hari dan yang paling lama itu sebulan. Tapi, yang sebulan juga itu jarang. Biasanya tiga harian,"
"Hah tiga hari?!" Bisa dibayangkan bagaimana dirinya di ruangan ini tanpa Zaidan selama tiga hari. Apalagi kata Nabila, paling lama satu bulan. Walaupun itu belum tentu, tapi Safira sudah khawatir.
"Iya. Waktu itu Zaidan di operasi, bangunnya empat hari setelahnya. Enggak jauh-jauh dari tiga hari itu, intinya mah."
Nabila berkata, "Enggak usah sedih atau takut kesepian. Kamu juga bakal di operasi kan? Jadi, kalian otomatis enggak akan ketemu." Kata Nabila saat melihat ekspresi Safira yang berubah.
"Cie kangen ya?" Goda Talita. Jarinya ingin mencolek pipi Safira, tapi kedua tangannya memegang dua benda ini.
"Iya kangen. Dia kan teman sekamar, rada kesepian aja kan kalo enggak ada temannya."
"Jangan khawatir gitu. Kalian bakal ketemu kok. Kalo enggak ketemu disini, ya ketemu di alam barzakh."
"Huh?!" Sinis Safira.
"Udah lah, saya pergi dulu nih,"
"Iye," seketika hubungan mereka terlihat tidak canggung lagi. Memang awalnya saja canggung.
Mata Safira menatap kepergian Nabila. Kemudian kepalanya menoleh ke kasur Zaidan. Membayangkan lelaki itu ada di kasurnya.
"Baru beberapa jam aja udah kaya gini," gerutunya kemudian merebahkan tubuhnya di kasur dengan badan yang menghadap ke arah kasur Zaidan.
Dirinya sedang tidak ingin tidur. Matanya masih terbuka menuju kasurnya Zaidan.
Ia teringat dengan novel yang diberikan Tika waktu itu. Matanya mencari keberadaan buku itu. Dan mendapatkannya di atas kasur Zaidan. Hanya terlihat warna ungunya saja, tapi ia yakin itu adalah novel yang ia maksud.
Perlahan gadis itu turun dari kasur dan mendekati kasur Zaidan untuk mengambil novel itu. Ternyata benar, itu novel yang ia maksud.
Kakinya mundur ke belakang dan kembali tiduran di kasurnya. Ada yang beda, punggungnya menyender pada bantal. Jadi tidak terlalu membentuk posisi ketika ingin tidur.
Tangan kirinya tak sengaja menyentuh buku tentang kanker yang tadi diberikan oleh Tika. Mulutnya berdecih, lalu menyimpan buku tentang kanker itu di atas meja. Ada yang lebih menarik daripada tentang kanker.
Kedua tangannya kini berfokus pada novel berwarna ungu ini. Matanya fokus membaca dan mulai hanyut. Namun, pada saat dirinya hanyut dalam alur cerita ini, tiba-tiba pintunya terbuka.
Nabila masuk ke dalam, berdiri di hadapan kaki Safira.
"Mau lihat Zaidan enggak?" Tawar Nabila.
Buku itu terlepas dari kedua tangan Safira. Matanya berbinar, "Emangnya boleh ya?"
"Boleh, kita lihat dari jendelanya aja. Jangan masuk ke dalam dulu," jawab Nabila terdengar santai. Safira sedikit tenang.
"Eum mau deh, tapi beneran boleh nih? Kan dia barusan di operasi? Emang sudah selesai operasinya?"
"Dari jam dua belas sudah selesai. Sebenernya boleh-boleh aja asalkan enggak masuk ke dalam." Nabila mengajak Safira karena ia iba melihat gadis itu sendirian disini.
Nabila mengambil kursi roda yang ada di dekat pintu lalu dibawa ke sebelah Safira sehingga memudahkan gadis itu untuk duduk di kursi roda.
Nabila membawa Safira ke ruang operasi. Agak jauh, tapi tidak apa lagian Safira tidak terlalu berat.
Di perjalanan menuju Zaidan, Safira menatapi satu persatu ruangan yang ia lewati.
Langkah Nabila bersamaan dengan kursi roda berhenti di hadapan ruangan. Kursi roda kembali didorong oleh Nabila mendekati jendela dari ruangan ini.
Safira berhadapan dengan jendela. Melalui jendela itu, ia mencari sosok Zaidan. Matanya terpaku pada sosok lelaki yang terletak di atas kasur dengan mata terpejam. Kulitnya begitu pucat, entah ini efek dari jendela atau memang kulitnya pucat.
Rasa ingin membangunkan Zaidan seraya berkata "Hey, aku kesepian disini. Buruan bangun!"
"Dia bakal di ruangan itu, Sus?" Tanya Safira dengan tatapan yang masih menuju kepada Zaidan.
"Iya, sampai dia siuman."
"Sendirian gitu? Kalo Zaidan bangun gimana?" Tanya Safira seperti mendaftarkan diri untuk menemani Zaidan.
"Ada Suster Tika kok. Tapi enggak di dalam terus, pada waktu tertentu aja Tika ke sana. Di dalam juga ada CCTV jadi kalo Zaidan bangun, ya bisa terlihat gitu. Nah, yang jagain CCTV ini si Tika juga,"
"Oh." Balas Safira. Tergambar jelas di otak Safira, betapa bergunanya Tika bagi Zaidan. Sedangkan dirinya? Tidak ada gunanya bagi Zaidan. Ah, seketika ia iri kepada Tika.
"Udah puas lihatnya?" Nabila menyejajarkan dirinya di samping kanan Safira.
Kepalanya menoleh ke arah Nabila. "Udah, sih. Tapi emangnya abis ini mau kemana?"
"Kamu mandi, saya mau mempersiapkan untuk kamu besok kemoterapi."
"Oh gitu, ya udah balik aja deh. Gapapa sebentar juga, yang penting udah lihat,"
Nabila berdiri dan mendorong kursi roda ini kembali ke ruangannya. Kepala Safira menunduk terus di perjalanan menuju ke ruangannya kembali.
Kursi roda berhenti di samping kasur Safira. Sosok yang biasa tiduran di atas kasur ini, kembali tiduran di atas kasurnya lagi.
"Saya siapkan keperluan kamu untuk mandi dulu ya," Safira mengangguk.
Nabila pun mempersiapkannya. Ada beberapa Pakaian-pakaian pasien yang tersimpan di lemari ini, pastinya pakaian khusus yang tinggal di ruangan ini.
"Silahkan mandi. Saya tunggu di depan, kalo ada keperluan panggil aja oke?"
"Oke." Safira pun turun dari kasur dan mengambil handuk yang ada di atas kasurnya, handuk itu tadi disimpan oleh Nabila.
Gadis itu masuk ke dalam untuk mandi, dan keluar lagi setelah mandi.
Ia tidak melihat sosok Nabila.
Handuknya memeras rambutnya agar tidak terlalu basah. Ada sisir di atas kasur Zaidan, rupanya sudah disiapkan oleh Nabila.
Sisir itu diambil oleh Safira dan digunakan untuk menyisir.
Karena tidak ingin berdiri, Safira duduk di kasur Zaidan. Tiba-tiba teringat masa dimana rambutnya disisir oleh Zaidan. Dan juga dimana Zaidan memuji rambutnya yang wangi.
Setelah menyisir, sisir itu diletakkan di sampingnya. Matanya menuju pada kasurnya Zaidan. Tangannya menepuk-nepuk selimut seraya berkata, "Rindu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Ficção AdolescenteSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...