Part 25 : Tantangan

386 65 5
                                    

Safira dan kedua temannya masih video call. Kedua teman yang dimaksud adalah Talita dan Arka, bukan Ratu.

Tadi, ia melihat Ratu lewat kamera. Tapi tampaknya gadis itu langsung pergi. Entah apa yang terjadi. Apakah Ratu tidak merindukan dirinya?

"Eh Safira kata Arka kalo kita jenguk Lo kesana boleh enggak jeh?"

"Dih! kapan gue bilang gitu!" Tangan kiri Arka yang menganggur memukul bahu Talita  dengan pelan.

"Aduh sakit sih Arka!!!!" Sebagai balasan, Talita kembali memukul Arka. Suara pukulan itu terdengar oleh Safira. Sedangkan pukulan yang Arka berikan kepada Talita, tidak terdengar.

Arka terlihat mengaja di hadapan kamera sambil menyisir rambutnya yang gondrong. "Gimana? Boleh jenguk?" Tanya Arka.

"Pamer rambut tuh, obong-obong udah panjang." Gerutu Talita.

Safira yang mendengarnya pun tertawa pelan. Untuk pertanyaan Arka, Safira senang mendengarnya. Banyak perubahan yang datang dari lelaki itu. Yang paling inti adalah Arka sudah mulai mau menganggap Safira sebagai seorang perempuan yang menyukainya.

"Boleh aja kok. Asal jangan motong waktu sekolah sama jangan dadakan. Untuk selanjutnya silahkan tanya-tanya ke ibu aku,"

Talita berdecak kesal. Perempuan itu mendekati kamera sampai-sampai kamera full dengan wajahnya. Niatnya Talita hanya ingin berbicara kepada Safira.

"Sekarang Ibu Lo ada disitu, Ra?"

Mata Safira menoleh ke arah kanan dan kiri kemudian kembali menatap layar ponsel sambil tersenyum. "Enggak ada kok. Emang kenapa?"

"Huft—untung aja enggak ada. Kalo ada bahaya sih," Talita menjauhkan wajahnya dari kamera.

Yang terlihat di kamera hanya ada Arka. Sepertinya Talita sedang melakukan sesuatu.

Kring kring

Terdengar bunyi bel. Entah pertanda masuk atau istirahat. Bahkan Safira sampai lupa dengan waktu jam sekolah, saking lamanya ia disini.

"Udah dulu ya? Mau ke kantin," pamit Arka.

Safira mengangguk. "Iya, makasih udah mau video call,"

"Oke, nanti Gue jenguk Lo."

Tut

Perkataan terkahir membuat Safira terdiam. Kemudian senyumnya merekah, kakinya loncat-loncat di kasur walau masih dalam posisi tiduran.

Ponselnya disimpan di atas kasur. Tak jauh dari tangannya.

Matanya menatap ke atas. Mengingat percakapannya tadi bersama teman-temannya, termasuk sosok spesial di dalamnya. Begitu bahagia dirinya, apalagi jika ia sembuh lalu bertemu kembali teman-temannya di sekolah.

Safira mengubah posisinya menghadap ke arah kanan. Zaidan ternyata sudah bangun, namun sedang membaca buku. Apakah Zaidan tadi mendengar percakapannya?

"Seru ngobrolnya?" Zaidan sadar dirinya dijadikan pemandangan oleh Safira. Lelaki itu menolehkan kepalanya ke arah Safira.

"Iya," jawab Safira sambil tersenyum.

"Mau nanya boleh?"

"Boleh kok. Nanya apa?"

"Stadium kamu naik ke 3, menurut kamu gimana?"

Senyuman di wajah Safira menghilang. Bukan karena ia sedih akan kenaikan stadium itu, tapi karena Zaidan tahu itu. Cukup dirinya dan ibunya saja yang tahu, jangan orang lain.

"Kok tahu?"

"Waktu itu dokter Aidan yang bilang, sebelum kamu sadar."

"Ohh,"

Can we surrender? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang