"Bukan kok, itu teman sekelas saya,"
Zaidan menatap Safira intens. Mengedipkan mata beberapa kali dengan pelan, lalu berkata, "Beneran?"
Perempuan yang berbaring di atas kasur itu mengangguk. Zaidan mengubah hadapannya dari Safira ke depan.
Membiarkan perempuan itu menatapnya dari samping, sembari menunggu balasan darinya.
"Emangnya kenapa? Kaya orang pacaran kah?
"Dia kelihatannya suka sama kamu gitu,"
"Ah iya kah? Aku emang suka sama dia, tapi dianya kaya dingin gitu lho. Nolak." Logika juga. Arka kan ganteng, jadi wajar aja kalo Safira suka, menurut Zaidan.
"Wah serius?"
"Iyaa," jawab Safira enteng.
"Iya, oke!" Balas Safira bersemangat.
Tak lama kemudian, Meli masuk ke dalam. Safira yang tadinya memandang Zaidan dari samping, kini menatap jalan yang dilewati Meli untuk duduk di kursi.
"Safira, besok lusa kamu di operasi. Kira-kira kondisi kamu sekarang gimana? Badannya?"
Ketika mendengar kata 'operasi' tubuh Safira langsung merinding. Walaupun ia sudah pernah melakukan, tapi tetap saja takut.
"Lumayan sih. Tapi, emangnya harus besok lusa ya? Kenapa enggak besok aja?" Ia tidak nego, hanya penasaran saja.
Meli melirik sekilas kepada Zaidan, lalu melihat anaknya lagi.
"Besok Zaidan. Besok lagi nya baru kamu," jawab Meli.
Kepala Safira langsung menoleh ke arah Zaidan. Lelaki itu tersenyum saat ditatap oleh Safira.
"Kamu emangnya sudah siap?"
"Tentu siap," jawab Zaidan enteng tanpa rasa takut.
"Kamu enggak takut?"
"Enggak, kan kita enggak sadar,"
"Oh iya juga sih," Safira mengangguk kecil saat kepalanya kembali menoleh ke arah ibunya.
"Persiapkan tubuh kamu ya. Jangan makan telat. Oh iya...,"
"Maaf ibu enggak bisa datang. Ibu kerja,"
Kerja, salah satu kata yang selalu digunakan Meli kepada Safira. Kerja memang penting, tapi Safira juga penting kan?
Pada akhirnya Safira hanya mengiyakan saja. Ingin memaksa juga tidak enak.
"Iya, gapapa." Wajah Safira berubah jadi masam.
Tangan Meli terulur untuk menggenggam tangan anaknya. Seperti menyalurkan sebuah semangat kepada anaknya. Senyuman Safira terbit, walaupun tipis.
Drrrt
Drrrt
Ponsel Meli yang ada di dalam kantong celana bergetar. Tangannya langsung melepaskan jari jemari Safira.
Di saat itu juga senyumannya hilang. Semangatnya pupus. Jarinya merenggang dan perlahan meredup kembali."Halo?" Meli berdiri dan mengarahkan ponselnya ke telinga.
Perempuan tua itu mendekati tembok dekat pintu ruangan ini.
"Sekarang?"
"....."
"Oke, saya ke sana."
Tut
Safira memandangi Meli dari kasurnya. Meli tampak mengetik sesuatu di ponselnya, lalu memasukkan ponselnya ke dalam kantong. Perempuan itu mendekati anaknya. Mata Safira menuju Meli yang berjalan mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Teen FictionSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...