Sisir sudah disimpan di atas meja Zaidan oleh lelaki itu. Safira juga sudah tiduran di atas kasurnya, sejak dua puluh menit setelah disisir.
Sepertinya Safira sudah tidur, karena matanya tertutup dan tubuhnya diam saja. Sedangkan Zaidan belum tidur. Matanya menatap ke jendela.
Ruangan ini di sore hari menjelang malam, kembali sepi dan sunyi lagi. Walaupun jika Safira bangun, belum tentu suasana akan ramai.
Zaidan menolehkan kepalanya ke arah Safira. Menatap wajah Safira yang masih pucat. Ia pernah di posisi Safira, awal-awal memang terasa menyakitkan. Tapi, lebih pahit lagi di saat sakit dan tidak mempunyai teman.
Ada perasaan senang ketika Zaidan mendapatkan teman sekamar. Tapi, ada perasaan takut juga. Di rawat di rumah sakit pasti akan berurusan dengan yang namanya operasi. Dan, jika mereka di operasi bagaimana jika ada salah satu dari mereka yang meninggal? Entah itu Zaidan ataupun Safira, tetap menyakitkan.
"Ah, over thinking lagi," gumam Zaidan lalu membenarkan posisi tidurnya, menghadap ke jendela memunggungi Safira.
•••
Badan Safira ditepuk-tepuk oleh seseorang. Saat matanya terbuka, ia tidak melihat Tika yang biasanya perempuan itu yang membangunkan dirinya. Ia melihat Meli, ibunya sendiri. Sedikit kaget, karena kemarin-kemarin ibunya tidak datang.
"Ibu?" Meli tersenyum mendengar panggilan dari anaknya.
"Makan dulu ya," ucap Meli yang memegang piring berisi bubur.
Safira menengok ke arah kanan, ingin melihat Zaidan. Ada suster Tika sedang menyuapi Zaidan.
Matanya masih menatap Zaidan. Tapi, lelaki itu tidak tahu bahwa Safira memandanginya. Bukan karena penampilan Zaidan yang sedikit berbeda karena memakai baju putih yang lebih bersih dari kemarin, melainkan karena ia merasa Tika dan Zaidan seperti sepasang kekasih.
Namun, rasa curiganya itu langsung tersingkirkan. Karena Safira rasa, mereka tidak mungkin menyimpan rasa yang sama. Mereka juga tidak terlalu dekat.
"Safira? Kenapa?" Ujar Meli membuat Safira menoleh ke arah ibunya.
Safira menggelengkan kepalanya pelan. "Ibu baru datang? Atau dari tadi?"
"Sekitar sepuluh menit yang lalu,"
"Eh makan dulu nih,"
Safira membuka mulutnya dan masuklah satu suapan bubur. Pagi ini ia tidak terlalu lapar, bubur juga mungkin tidak membuatnya kenyang.
Kepalanya menoleh pelan ke arah Zaidan. Kembali menatap dua insan itu. Tampak mengobrol pelan, tapi tidak terdengar.
"Lagi," ucap Meli saat melihat mulut Safira sudah kosong.
"Ibu udah kasih tau temen-temen aku?" Tanya Safira sambil makan.
"Kemarin teman kamu telpon ibu. Katanya teman-teman kamu mau jenguk, terus ibu bilang besok aja sekalian mau kesini," balas Meli.
"Berarti besok ibu kesini lagi?" Meli mengangguk.
"Siapa aja yang mau kesini?"
Arka, Arka, Arka channoch please. Batin Safira.
Hati Safira berharap besar bahwa Arka akan menjenguk dirinya. Satu Minggu Safira ada di rumah sakit, selama itu juga dirinya tidak bertemu Arka. Ah, jadi kangen sama yang namanya Arka Chanoch.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Novela JuvenilSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...