Tampak Aidan tengah duduk di kursi, di hadapannya ada kasur yang ditempati oleh Zaidan. Ini bukan di ruangan 25 yang digunakan oleh Zaidan, melainkan ruangan pengecekan stadium.
Tangannya yang memegang sebuah kertas. Matanya memperhatikan tulisan yang ada di kertas itu, lalu matanya beralih ke Zaidan.
"Stadium kamu naik ke stadium 3a."
Deg
Dirinya kaget saat mendengar itu. Padahal selama ini, ia rasa dirinya semakin membaik.
"Serius, Dok?"
Aidan mengangguk. Tangannya terangkat agar dirinya bisa membaca kembali teksnya, barangkali ada yang salah. Ternyata, ia salah membaca!
"Eh salah-salah!"
"Yang naik ke stadium 3a itu Safira, kalo kamu menurun ke stadium 1."
"Safira?!!!" Kaget Zaidan.
Aidan menjauhkan kertas itu dari pandangannya kemudian menatap Zaidan serius.
"Iya, Safira. Kenapa? Wajar sih,"
"Stadium 3? Secara langsung?!!" Aidan mengangguk.
"Anda jangan bercanda ya!" Ancam Zaidan. Ia menatap Aidan dengan penuh kemarahan, marah jika dibohongi dan tetap marah juga jika itu sebuah fakta.
"Bener," ucap Aidan. Wajah Aidan tampak santai, hal itu membuat Zaidan berpikir bahwa Aidan telah berbohong.
Matanya berpaling menuju kertas yang dipegang oleh Aidan. Satu persatu ia membaca kata yang terdapat di dalam kertas tersebut.
Aidan tidak berbohong, ia mengetahui itu saat sudah membaca seluruh isi teksnya.
"Kok bisa gitu?" Tanyanya tak habis pikir.
Kepalanya mendongak ke atas. Menatap ke jendela yang terbuka. Masih siang hari, namun cuaca tidak terlalu panas.
"Bisa aja, Tuhan kok di lawan." Jawab Aidan enteng.
Hatinya turut bersedih saat mendengar bahwa stadium kanker Safira semakin parah. Bahkan sampai ke stadium 3, melewati dirinya. Dan kenapa dirinya yang menurun? Bagaimana jika dirinya sembuh dan Safira yang sendirian disini? Zaidan tidak tega.
"Pagi ini juga ibunya Safira mau kesini buat jenguk sekalian mau nanya-nanya."
"Sekarang aja badannya Safira panas, bibirnya pecah-pecah, kering banget." Lanjut Aidan.
Kepalanya menunduk ke bawah seiringan dengan tatapan yang menunduk juga.
Melihat perubahan itu, Aidan paham apa yang dirasakan Zaidan. Tapi, mau bagaimana lagi. Saat melihat hasilnya, Aidan juga kaget. Safira baru masuk ke sini, dan sudah ke stadium 3. Dan, Zaidan menurun ke stadium 1. Doa Zaidan untuk sembuh kini terkabul, lalu kenapa lelaki itu tampak murung?
"Perbanyak berdoa aja, doamu sekarang kan terkabul. Siapa tau nantinya terkabul juga," Aidan menepuk pundak Zaidan membuat lelaki itu mendongakkan kepalanya.
Aidan tersenyum tipis kepada Zaidan mencoba memberi kehangatan. Lalu ia pun keluar dari ruangan ini, membiarkan Zaidan sendiri agar pikirannya tenang.
Saat Aidan pergi, Zaidan langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kepalanya menoleh ke arah kiri, lalu memandangi wajah Safira dari samping walaupun tidak terlalu jelas.
Kepalanya menoleh lagi seperti awal. Hatinya siap-siap untuk berdoa. Matanya ditutup agar doanya lebih serius.
"Tuhan, tolong sembuhkan Safira. Saya sebagai manusia aja tidak tega melihatnya, tentunya Engkau sebagai Tuhan akan lebih kasihan, karena Engkau Maha Mengetahui. Tuhan, tolong kabulkan lagi doaku yang satu ini. Dan terima kasih sebelumnya sudah mengabulkan doaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Teen FictionSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...