Setelah Zaidan dibawa pergi ke ruang operasi, Safira hanya bisa diam di ruangannya. Jarinya memeluk buku yang diberikan oleh Tika, dipeluk di dadanya. Matanya sedari tadi menatap ke atas.
Buku itu bertema seputar kanker. Halaman awal sudah dibaca olehnya, untuk pengetahuan. Juga tentang operasi, agar ia tidak kaget.
Suasana sunyi sudah datang semenjak kepergian Zaidan dan Tika dari ruangan ini. Membaca buku itu, membuat Safira akan bosan. Seperti ketika ada masalah, jika diingat-ingat maka akan semakin pusing. Begitu juga dengan dirinya, rasa ingin refreshing namun bagaimana? Terima nasib.
Tangannya mengangkat buku itu, namun masih bertumpu pada perutnya. Ia membaca sekilas halaman yang dibatas menggunakan jari jempolnya.
"Huh, bosen banget," buku itu kembali ditidurkan di atas perutnya.
Kedua tangannya menahan tubuhnya di ranjang, karena ia mengubah posisinya menjadi duduk.
Matanya menuju ke arah pintu. Pintu itu dibuka oleh seseorang, ia kira itu adalah ibunya karena yang membuka pintu adalah seorang perempuan tua.
"Eh ini bukan ruangan 27 ya?" Tanya perempuan itu yang berhenti di ambang pintu dengan tangan yang masih memegang gagang pintu, matanya menuju kepada Safira yang duduk di atas kasur.
"Bukan, Bu." Balas Safira.
"Oh gitu," perempuan itu mengangguk sebentar lalu bertanya, "Kalo ruangan operasi sama ruang dokter dimana ya?"
"Enggak tahu, Bu. Saya disini juga masih baru-baru. Kalo boleh tau, Ibu cari siapa? Barangkali saya kenal,"
Perempuan itu nampak ingin mendekati Safira, tapi ragu-ragu karena takut barangkali tidak boleh masuk.
"Masuk aja, Bu, enggak apa-apa." Ucap Safira.
Lalu perempuan itu pun duduk di kursi yang berada di samping kiri Safira.
Perempuan berkerudung itu menatap Safira, "Kenal Zaidan, Neng?" Tanyanya sopan.
"Oh, Zaidan," Safira memandangi wajah perempuan ini, mirip dengan Zaidan.
"Itu kasurnya Zaidan," Kepalanya menunjuk kasur Zaidan.
"Oh itu, kalo ruang operasinya enggak tahu ya? Soalnya Zaidan sudah mulai operasi kata Susternya," setelah melihat kasur itu, ia kembali menatap gadis ini.
"Enggak tahu, Bu. Memangnya, sudah mulai ya?" Perempuan itu mengangguk.
"Zaidan kan hampir satu tahun disini, kok ibu enggak tahu ruangannya?" Tanya Safira pelan karena takut perempuan ini tersinggung.
"Dulu di ruangan bawah, pas satu bulan kemarin kalo enggak salah ruangannya pindah. Saya ingatnya ruangan 27, eh ternyata ruangan 25," balas perempuan itu diselingi tertawa kecilnya.
"Eh iya, nama kamu siapa?"
"Saya Safira. Temannya Zaidan, tapi enggak terlalu dekat,"
"Oh gitu. Kelas berapa? Stadium berapa? Sejak kapan disini?"
"Kelas 12 SMA. Stadium satu, mau satu bulan kayanya sih. Soalnya saya enggak menghitung hari juga, bahkan hari ini hari apa saya aja enggak tahu,"
"Oh gitu. Zaidan kan sedang operasi, kalo kamu kapan?"
"Besok." Jawab Safira.
"Ibu namanya siapa ya?" Tanya Safira.
"Saya Amel,"
"Ibunya Zaidan?" Amel mengangguk.
"Zaidan selama kenal sama kamu orangnya gimana?" Tanya Amel. Zaidan selalu membungkam mulutnya saat bersama dirinya, alias selalu berdiam diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Teen FictionSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...