Part 24 : Video call

409 66 2
                                    

Matanya tertuju pada tangan pucat dan kurus miliknya. Ada sekitar 20 helaian rambut di atas tangannya. Itu bukan ulahnya yang mencabut rambutnya. Melainkan rambutnya yang rontok saat ia mengusap rambutnya sendiri.

Pintu ruangan terbuka. Saat kepalanya mendongak, ia mendapati Suster Nabila berjalan ke arahnya. "Sus, rambut saya rontok. Kenapa ya?"

"Mungkin faktor enggak mandi-mandi, jadi bau dan kusut nih," goda Nabila. Nabila duduk di kursi. Dia juga tahu kalo rambut Safira rontok karena faktor stadium 3. Tapi, ia tahan dulu. Masih pagi, takutnya semakin pusing otak gadis itu.

"Makan dulu ya?" Mata Safira tertuju pada mangkok berisi bubur yang ada di tangan Nabila.

"Enggak ah, Sus. Aku enggak lapar." Tolak Safira tak bersemangat. Perutnya sakit seperti orang belum makan, tapi ia tidak ada rasa dan niat untuk makan.

"Makan dulu dong, nanti sakitnya tambah parah gimana?"

"Aku enggak nafsu makan, Sus. Dari kemarin, perutku sakit kaya orang laper tapi mulut ini enggak Nerima makanan," curhat Safira. Ia juga bingung apa yang terjadi dengannya. Berharap Nabila bisa memberinya solusi.

"Kenapa ya, Sus?"

"Terus aku pake infusan kaya gini sejak kapan?" Tangannya mengangkat sedikit dan ditatap olehnya, begitu juga dengan Nabila.

Nabila jadi bingung. Haruskah ia berkata jujur? Tapi ia takut akan membuat Safira semakin sedih, apalagi ini masih pagi dan Safira baru-baru ini bangun.

"Waktu itu kan kamu abis operasi, Safira."

Ah, lebih baik mengalihkan pembicaraan. "Eh iya, kondisi kamu sekarang gimana? Udah enakan kah??"

Tangan Safira memukul-mukul punggungnya. "Punggung aku sakit." Kemudian tangannya beralih ke bahu. "Sama bahu aku juga sakit,"

"Mungkin karena di atas kasur terus, jadi pada sakit," balas Nabila. Masuk akal juga jawabannya karena selama ini gadis itu selalu di atas kasur.

"Iya juga sih, Sus aku mau nanya boleh?" Tangannya yang di bahu disimpan di atas kasur.

"Boleh. Nanya apa?"

"Pas setelah operasi, hasilnya gimana? Sembuh kah atau apa?"

Terdiam. Bingung ingin menjawab apa lagi.

"Hasilnya ada di dokter, Ibu kamu juga tahu kok. Nanti Ibu kamu kesini, tunggu ya? Sekarang kamu makan dulu oke?"

"Ibu mau kesini?" Nabila mengangguk pelan. "Katanya mau kesini jam sembilan,"

"Makannya kamu makan dulu ya? Biar Ibu kamu enggak stress, kasian Ibu kamu kepikiran terus sama kamu,"

Nabila mengambil satu suapan menggunakan sendok lalu mengarahkan ke mulut Safira. Mulutnya terbuka, termakan ucapan Nabila.

"Waktu itu Ibu kesini?"

"Iya, sama Ayah kamu malah."

"Ayah?!!" Kaget Safira. Bayangkan, hampir dua tahun tidak bertemu dan kini ada yang bilang bahwa Ayahnya datang.

"Iya,"

Safira menghela napasnya kasar. Saat mendengar nama 'Ayah' disebut, ia jadi teringat dengan Zaidan. Mungkin karena sama-sama lelaki. Akhirnya Safira menolehkan kepalanya ke arah kanan karena penasaran dengan Zaidan.

Lelaki itu tampaknya masih tidur. Tapi ia tidak tahu apakah Zaidan tidur atau belum sadar.

"Dia belum bangun atau belum sadar, Sus?" Mulut Safira sudah kosong, bubur itu sudah menghilang. Nana pun menyuapinya lagi.

Can we surrender? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang