"Gimana kabar Lo?"
"Alhamdulillah turun ke stadium 1a. Minta doanya ya,"
Talita cukup senang mendengarnya. Stadium, satu kata yang membuatnya teringat dengan sosok Safira lagi. Di saat Safira naik stadium, kini Zaidan turun stadium. Dunia memang berputar.
"Lo agak berisi badannya. Cepet sembuh ya,"
"Hm makasih," balas Zaidan.
"Oh iya Gue mau nunjukin foto ini sama Lo." Talita mengeluarkan foto itu dari kantong celananya dan memberikannya kepada Zaidan yang langsung diterima oleh lelaki itu.
Wajahnya berubah menjadi datar. Namun percayalah dibalik wajah datarnya itu, tersimpan rasa rindu dan sedih melihat wajah Safira.
"Oh ini mah foto pas waktu itu saya ambil. Btw boleh saya simpan?" Kepalanya mendongak ke atas untuk menatap Talita.
"Hm boleh aja sih, soalnya tadi ada yang minta foto ini,"
"Anak kecil pula," timpal Talita.
"Oh gitu. Sudah habis kah barang-barangnya?" Tanya Zaidan.
"Masih ada sih, lagi dijagain sama Om Gema."
"Oh," balas Zaidan.
Pandangannya turun ke bawah menatapi foto itu lagi. Melihat wajah Safira membuatnya kembali mengingat masa-masa itu.
"Gue mau balik dulu ya,"
Zaidan kembali mendongakkan kepalanya kemudian mengangguk.
"Hati-hati ya, salam buat teman-temannya Safira yang lain," pesan Zaidan.
Talita tersenyum kemudian berdiri. Ia berjalan keluar ruangan ini. Hanya ada Zaidan dan Talita, karena Safira sudah tidak ada. Kasur yang biasa digunakan oleh Safira pun sudah dipindahkan.
"Eh Talita!" Panggil Zaidan sebelum Talita keluar.
"Iya?" Talita yang berada di ambang pintu pun membalikkan badannya.
"Bawa aja fotonya nih, takutnya saya kepikiran terus sama dia. Bukan apa-apa, bagaimanapun juga saya harus bisa lepas dari Safira."
Talita tidak terkejut karena alasan yang diberikan oleh Zaidan padanya itu masuk akal.
Tangan Zaidan sudah menyodorkan dua foto itu. Lalu Talita mengambil foto itu. Ditatapnya sebentar kemudian menatap Sang Pemberi foto ini.
"Yakin?"
"Iya, saya enggak mau kepikiran terus. Cukup dikenang aja,"
"Hm oke deh," setelah mengucapkan itu, lalu Talita pun langsung keluar.
Menemui Meli yang ada di dalam mobil. Sengaja tidak keluar karena ketika melihat rumah sakit, hatinya teriris. Mungkin karena masih belum bisa menerima kenyataan.
Meli menatap foto itu masih berada di tangan Talita. Dahinya berkerut, mengapa foto itu tidak diberikan kepada Zaidan?
"Enggak dikasihi?"
"Enggak mau dianya. Katanya takut kepikiran,"
"Cukup dikenang aja," tambahnya.
Bijak. Kata-kata itu membuat Meli sedikit tersadar. Safira sudah pergi, tidak perlu di ingat-ingat, cukup dikenang saja. Karena bagaimanapun Safira tidak akan kembali lagi, walaupun Meli menangis darah juga.
"Benar juga." Ucap Meli lalu mulai menyalakan mesin mobil.
Mobil mulai berjalan. Di perjalanan, Meli berusaha fokus menyetir di saat otaknya masih memikirkan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Teen FictionSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...