Pak Husein tengah berbincang dengan Meli, selaku ibu dari Safira. Arka dan Safira hanya berdiri di samping mereka.
"Jadi, besok mau langsung operasi?" Meli mengangguk antusias. "Kondisinya sudah parah banget, Pak. Saya juga enggak mau lakuin ini, tapi ini juga yang terbaik,"
Pak Husein menghela napasnya kasar. Lelaki tua itu mengedarkan pandangannya ke arah dua muridnya.
"Kalian temuin Safira gih, saya mau bicara sesuatu sama Ibunya."
"Oke, Pak." Balas Talita lalu beralih menatap Meli untuk meminta izin.
"Saya sama Talita temuin Safira dulu ya, Bu." Pamit Arka sekali mengangguk kepalanya sebagai tanda hormat dari yang lebih muda kepada yang lebih tua.
Di tangan Arka memegang sebuah plastik berwarna pink.
"Iya," balas Meli tersenyum ke arah mereka berdua.
Arka dan Talita masuk ke dalam. Mereka berdua langsung tertuju pada Safira yang tengah memegang kalender di perutnya, kepalanya menggunakan kupluk. Mereka sudah bisa menebak bahwa Safira kehilangan rambutnya.
"Ssstt!" Suara itu berasal dari Zaidan yang menyuruh mereka berdua untuk diam dan jangan berisik walaupun belum menimbulkan suara. Maksudnya jangan membangunkan Safira.
Talita perlahan melangkah lalu duduk di kursi. Sedangkan Arka hanya berdiri di sampingnya saja. Walaupun ada kursi lainnya di ruangan ini, ia lebih memilih untuk berdiri.
Wajah Safira memucat, ada beberapa bagian kulitnya yang mengerut. Badannya terlihat kurus, sangat berbeda dengan yang dulu.
Talita membandingkan tubuh Safira saat gadis itu masih sekolah dan yang sekarang ini. Benar-benar berbeda.
"Hai?" Sapa Safira dengan suara lemah. Bibirnya tersenyum tipis saat yang ditunggu olehnya kini datang.
Safira menatap Arka kemudian tersenyum. "Ratu mana, Ka? Dia enggak datang?"
Bahkan dia masih nanyain Lo, batik Arka.
"Dia enggak bisa datang, Ayahnya lagi sakit." Jawab Arka.
"Oh ya? Sakit apa Ayahnya?"
"Enggak tau,"
"Stadium Lo naik, Ra?" Tanya Talita membuat gadis itu menatapnya.
"Iya, naik ke stadium 3."
"Sorry ya baru jenguk, Ra."
"Eh iya Gue bawa ini buat Lo." Talita mengambil tasnya yang ada di punggung lalu dikeluarkannya sebuah buku dari tas itu.
"Buat Lo," Talita menyerahkan buku itu kepada Safira.
Gambar buku itu berwarna kuning, warna kesukaan Safira.
"Buat aku ini?" Talita mengangguk. "Iya, buat lo."
"Makasih ya," Safira menerimanya lalu menyimpannya di atas perut. Ia baru sadar di atas perutnya masih ada kalender. Sepertinya di ambil lagi.
"Kamu udah kerja kelompok?" Tanya Safira kepada Arka.
"Udah, sama golongannya Wesel,"
"Oh, kalo kamu?" Safira berpaling kepada Talita.
"Udah, waktu itu sama Ratu terus sapa lagi sih ya lupa,"
"Nanti hari Minggu mau langsung prakteknya. Eh sekarang hari apa sih?"
"Kamis," jawab Arka.
"Oh iya, berarti bentar lagi sih,"
Kaki Arka mendorong kaki Talita pelan. Talita mendongakkan kepalanya menatap lelaki itu. Lalu ia pun ingat sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Novela JuvenilSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...