Sehari ini, Meli berada di rumah sakit. Mengurus berkas-berkas dan pembayaran Safira, juga menyuapi Safir saat makan.
Dan, sehari ini juga Zaidan dan Safira tidak mengobrol seperti kemarin. Zaidan hanya membaca novel yang diberikan oleh Tika, makan seperti biasa, dan tidur.
Malam ini, seperti biasa juga. Zaidan tidur terakhir dan Safira awal. Matanya menatap wajah Safira dari jauh. Seperti yang dilakukannya kemarin malam.
Namun, pada akhirnya Zaidan juga tidur. Intinya, seperti biasa.
•••
Esok hari, Safira sudah bangun lebih dahulu tanpa dibangunkan. Mungkin ini karena semangat baru menunggu seseorang, atau mungkin lebih tepatnya mengharap seseorang datang.
Jam enam pagi, Safira memikirkan Arka. Iya, lelaki yang ia rindukan. Jika saja Arka datang, ingin rasanya Safira menyatakan rasa rindunya. Tapi, jiwanya tidak seberani itu. Menyukai juga hanya modal menatap diam-diam, juga teman yang biasanya usil menyampaikan kepada Arka tentang rasa ini.
Mata Safira melirik ke arah jam dinding. Pukul 06.07
"Ah, masih lama. Paling mereka datang juga pas pulang sekolah," ucap Safira.
Matanya kembali ditutup. Dan pada pukul 07.05 matanya perlahan terbuka saat mendengar suara seseorang.
"Eh Safira udah bangun!" Suara pertama yang ia dengar adalah suara Talita.
Di kursi, ada Ratu dan Talita yang duduk pada satu kursi. Mereka menggunakan baju bebas, alias bukan baju seragam. Tubuh mereka tidak terlalu besar, satu kursi pun cukup walau sedikit kelebihan.
Talita dan Ratu menatap wajah Safira. Lalu timbul pertanyaan dari Talita, "Saf, kanker tuh rasanya gimana sih? Lo udah di operasi berapa kali? Kok masih hidup?" Ketika Ratu mendengar pertanyaan terakhir, mulut Talita langsung ditampar pelan oleh Ratu.
"Kalo ngomong jangan disertakan doa!"
"Iye tau, canda elah. Gitu aja marah, pake mukul-mukul segala," gerutu Talita sambil memutar bola matanya malas.
"Dih, sapa yang mukul? Gue cuma tampar pelan mulut Lo juga, dasar alay,"
"Kalo cuma pelan, sini Gue tampar balik mau gak?"
"Nye Nye Nye Nye Nye," balas Ratu kehabisan kata-kata.
Safira menatap kedua temannya itu. Ada rasa rindu kepada mereka berdua, walaupun sering berantem atau marahan.
Tangan seseorang dari arah kanan, menempel ke dahi Safira. Siapa? Selain Ratu dan Talita.
"Kebiasaan, kalo Gue ngomong baik-baik Lo malah kaya gitu," balas Talita.
Safira menatap pemilik tangan itu. Ternyata itu Arka. Ia sampai lupa dengan Arka, mungkin karena rasa rindunya lebih besar kepada temannya daripada seseorang yang ia suka.
"Ya suka-suka Gue lah, mulut-mulut Gue juga,"
"Arka?"
"Masih pusing?" Tanya Arka.
Arka menggunakan kemeja berwarna hitam panjang. Dengan jam tangan berwarna hitam di tangannya. Celana pun berwarna hitam. Kulitnya yang berwarna putih kuning, membuatnya semakin mencolok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can we surrender? (End)
Genç KurguSafira itu gadis biasa, bukan gadis yang terkenal karena kecantikannya atau kepintarannya. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu bodoh. Ia menyukai salah satu lelaki di kelasnya yang bernama Arka. Hingga suatu hari Safira mengalami gejala-gejala k...