42. Bahagianya Masih Sama

2.1K 373 63
                                    

"Kebanyakan orang tidak akan menyadari kesalahan mereka sampai mereka merasakan sebuah penyesalan."

******

Mimpi buruk. Rasanya Samudra benar-benar membenci hal yang satu itu. Pasalnya setelah bermimpi buruk ia akan tiba-tiba bangun dan terduduk, dengan kondisinya yang tak begitu baik, ia benar-benar kesakitan setelah dipaksa bangun dari tidurnya karena mimpi menyebalkan itu.

Samudra meringis, memegangi bagian pinggang nya untuk lima menit pertama sebelum akhirnya dapat menghela nafas lega setelah rasa sakitnya perlahan memudar.

Samudra tidak mengerti kenapa ia harus kembali bermimpi tentang perlakuan kasar semua orang kepadanya. Rasa sakit akibat pukulan dan juga perkataan Indah serta Wira kini membayangi pikirannya.

Tenggorokannya tercekat, hatinya terasa kebas. Ia membenci perasaan ini, ia membenci dirinya yang terlihat lemah seperti ini. Ia membenci bagaimana tubuhnya merespon atas semua kenangan buruk itu.

"Dra?" Jovan mengusap matanya yang terasa panas sembari mengubah posisi menjadi duduk.

"Kok bangun? Kenapa? Ada yang sakit?"

Samudra menundukkan kepalanya kemudian menggeleng. "Cuman mimpi buruk."

"Sekarang mau tidur lagi atau gimana? Ngobrol dulu sampai lo ngantuk?"

"Bukannya lo capek ya, Pan? Tidur aja duluan. Nanti gue nyusul."

Jovan menggeleng. "Enggak! Siapa yang bilang gue capek. Gue malah semangat banget nanti mau mabar ama Daniel."

Jovan bangkit, memeriksa segelas air di atas nakas dan mendapatinya sudah kosong. "Dra, gue ke cafetaria bentar ya cariin air buat lo."

"Pan, ini subuh. Udah di sini aja."

Sedikit menggeleng, Jovan memakai sepatunya kemudian beranjak. Ia sempat mengerling lucu sebelum keluar dari ruang rawat dan melangkah gontai menyusuri koridor rumah sakit yang tampak sepi.

Hanya ada beberap orang yang tertidur di kursi tunggu. Entah tak diperbolehkan masuk ke dalam atau yang lainnya. Sesampainya di cafetaria, Jovan mendudukkan diri. Menunggu dua cup kopi yang ia pesan untuk dirinya dan Juan. Jemari panjang Jovan mengusak surainya yang berantakan dengan kasar. Ia kemudian menutup matanya dengan telapak tangan dan mulai menangis di sana.

Jujur saja, ia tidak pernah sekuat itu setiap kali berada di sisi Samudra. Menyaksikan bagaimana sahabatnya itu kesakitan dan bahkan mengingat banyak hal buruk mebuat Jovan merasa dirinya ikut hancur. Ia merasa ikut kelelahan bersama sosok yang sudah menjadi bagian dari dunianya selama 7 tahun itu.

Anggap saja ia hanya memiliki Samudra saat ini. Hanya ada dia. Dan Jovan tidak pernah siap untuk kehilangan lagi. Cukup Diana, dan itu sudah membuat hatinya kebas seakan mati rasa.

"Dek?" Panggilan dari ibu penjaga cafetaria itu menghentikan tangisan Jovan. Ia mengusap sisa-sisa air matanya kemudian memberikan dua lembar uang dua puluh ribuan sembari tersenyum.

"Makasih, Bu."

"Sama-sama. Adek yang kuat ya. Siapapun yang sedang adek jaga di sini, Ibu harap dia lekas sembuh."

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang