20. Rasa Takut

2.9K 452 64
                                    

"Sekali saja, aku ingin menjadi seorang pengecut."

-Sanudra Arshio Wijaya-

***************

Bola basket dan musik pernah menjadi dua impian terbesar Samudra. Meskipun pada awalnya Samudra hanya memaksa diri untuk aktif di semua kegiatan untuk menyamai prestasi Angkasa, pada akhirnya si bungsu itu jatuh cinta.

Ia merasa nyaman saat berlari di tengah lapangan bersama Jovan dan teman yang lainnya. Ada beban yang terangkat dari kedua pundaknya saat ia berlari dan berteriak pada rekan satu teamnya. Apalagi saat ia melompat, rasanya tubuh benar-benar ringan dan senyum tak bisa hilang dari belah bibir tipisnya.

Basket masih memiliki efek yang sangat baik, buktinya sekarang ia merasa sedikit rileks meskipun nafasnya sedikit tersendat.

Samudra menghentikan larinya, membungkukkan badan dan menumpukan kedua tangannya pada lutut. Nafas si bungsu itu terengah, dengan peluh menetes membasahi wajahnya yang mulai nemucat.

Mereka baru bermain selama 7 menit, dan Samudra sudah merasa selelah ini. Padahal biasanya dia bisa bermain sampai 30 menit penuh. Samudra memukul dadanya dengan keras berharap nafasnya bisa sedikit membaik. Menyadari Samudra berhenti tak bisa membuat Jovan merasa tenang.

Si jangkung itu langsung berlari dan meraih kedua bahu Samudra. "Lo kenapa? Ada yang sakit? Kenapa?"

"Mudra lagi sakit, Jov?" Daniel menatap Samudra dengan pandangan penuh tanya.

Jovan baru saja hendak membuka mulut sebelum Samudra lebih dulu menegakkan badan sembari tersenyum. "Agak nggak enak badan aja gue. Kecapekan."

"Tahu gitu nggak usah main tadi. Liat muka lo pucet gitu."

"Dan, gue anter Mudra balik dulu, ya."

Daniel mengangguk dua kali. "Besok kalau ada waktu, gue mampir ke rumah lo, Dra."

Samudra tersenyum. "Duluan."

Jovan merangkul bahu yang lebih mungil dengan erat, menelusuri jalanan kompleks yang entah kenapa terasa begitu panjang bagi Samudra. Dia tak pernah main-main bahwa ia merasa sangat lelah saat ini.

"Dra ...."

Remaja itu menekan bibir dalamnya kuat-kuat sembari mencoba tersenyum. "Jov, bisa chat Aksa nggak? Suruh jemput di sini? Gue ... gue nggak bisa jalan lagi."

Jovan mengangguk cepat sementara Samudra mendudukkan diri. Jemari remaja tanggung itu bergetar saat mencoba mengirim pesan pada Angkasa, ia khawatir. Pias pucat itu semakin nyata, dan yang Samudra lakukan sekarang hanyalah bersandar pada bahu Jovan dengan mata memejam.

Samudra terlihat meringis, menekan pinggang kanannya yang kembali terasa nyeri. Jovan merangkul bahu sempit itu dengan lebih erat, netranya menatap sekeliling dengan khawatir. Ia berharap bisa melihat mobil Angkasa dari kejauhan mengingat tempat ini tak teralu jauh dari rumah.

Dan benar saja, Jovan melihat mobil putih Angkasa dari kejauhan. Berhenti dengan decitan roda yang memekakkan telinga sebelum sosok Angkasa keluar dengan wajah khawatirnya.

Angkasa bahkan tak bertanya, hanya menaikkan Samudra ke punggungnya dengan bantuan Jovan, kemudian memasukkan adiknya itu ke kursi belakang.

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang