10.(Better than Anyone)

3.2K 497 65
                                    

"Sesuatu yang menyakitkan tak seharusnya dikatakan pada orang lain. Terluka sendirian mungkin terasa lebih buruk, tapi tidakkah itu lebih baik daripada melihat orang yang kau sayangi ikut terluka?"

**************

Jovan sama sekali tak mengingat nama Angkasa sampai sang dokter di ruang kesehatan fakultas psikologi itu menanyakan apa ada seorang keluarga yang bisa ia ajak bicara dengan serius.

Ini pasti bukan sesuatu yang spele, terlihat dari wajah dokter wanita paruh baya itu yang tak terlalu baik. Jovan sudah berusaha menghubungi Angkasa tapi tak kunjung di jawab. Sepertinya kakak tunggal Samudra itu sedang berada di dalam kelas dan memasang mode silent pada ponselnya.

"Dokter bisa ngomong sama saya langsung." Jovan terkejut tentu saja kala mendengar suara Samudra.

Bocah dengan wajah pucat pasi itu berusaha duduk meskipun tubuhnya benar-benar lemas. Netranya berkedip menatap sang dokter seakan meyakinkan sebelum akhirnya dokter itu mengangguk.

"Jov, keluar sebentar."

Jovan terkejut tentu saja. "Dra, gue harus tau."

"Nggak semua hal lo harus tau Jov."

Ada nada dingin dibalik tenang suara Samudra yang terdengar olehnya. Si jangkung itu menghela nafas pendek kemudian keluar dari ruangan. Ia tak menutup pintu itu dengan rapat dan berdiri tepat dibelakangnya untuk bisa mendengar apa yang keduanya bicarakan.

"Ibu tau kamu masih mahasiswa baru, tapi sepertinya kamu sudah mengerti betul apa yang sekarang terjadi sama diri kamu."

Samudra mengulum bibirnya sembari mencengkram kuat ujung selimut yang menutup kedua kakinya.

"Kecanduan," ujar Samudra dengan suara lirih.

"Siapa nama kamu?"

"Samudra." lagi-lagi anak itu berujar dengan suara lirih.

"Ada banyak efek samping buruk yang bakal kamu terima kalau kecanduan ini nggak segera di atasi. Kecemasan kamu makin parah, halusinasi, penurunan daya ingat dan konsentrasi, yang paling buruk organ dalam kamu bisa rusak karena terlalu sering mengkonsumsi obat-obatan dengan dosis tinggi seperti ini."

Perlahan Samudra mengembangkan senyumannya. "Saya tau dokter. Tapi…."

Samudra menggantung kalimatnya. "Saya nggak bisa."

"Obat penenang nggak pernah bagus buat kamu. Kita ambil jalan terapi yang lain, kamu masih muda. Perjalanan kamu masih panjang, jangan rusak diri kamu sendiri."

Septian juga pernah merasakan hal yang sama. Dan Samudra juga tidak bodoh untuk bisa mengerti semua akibatnya. Ia sudah menjalani terapi dengan Septian untuk mengurangi depresinya dua tahun lalu. Tapi sungguh, Samudra sama sekali tak melepaskan dirinya dari obat yang sudah seperti sahabatnya itu.

Di tahun pertama setelah terapi, dia hanya memakan obat itu sekali dalam seminggu tanpa pengetahuan siapapun. Dan setelah bertemu dengan Ardi di hari pernikahan Arini hari itu, ia mulai meminumnya satu kali dalam sehari. Intensitas yang semakin sering jika dihitung sampai saat ini.

Samudra tak pernah ingin merusak dirinya sendiri. Tapi bukankah sedari awal ia sudah benar-benar rusak. Mungkin memang bisa diperbaiki, tapi bukankah hasilnya tetap tak akan sama seperti semula?

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang