26. Jenuh

2.2K 415 45
                                    

"Jenuh itu adalah rasa yang wajar bukan?"

***************

Malam sudah cukup larut, bahkan udara semakin mendingin dari waktu ke waktu. Bulan dan Bintang yang seharusnya menerangi langit, kini tak terlihat di setiap sudut angkasa yang nampak temaram.

Hujan gerimis mulai turun semenjak lima menit yang lalu. Tapi Angkasa masih duduk berhadapan dengan Ardi di sebuah warung soto pinggir jalan yang sepi. Maklum saja, siapa yang akan menghabiskan waktu di lua rumah di tengah hujan seperti ini.

Angkasa mengaduk soto yang uapnya masih mengepul itu dengan gerakan perlahan. Pandangannya sedikit menerawang, mengingat kesalahan yang ia lakukan hari ini dan cara untuk memperbaikinya. Kalian tentu ingat jika sempurna sudah menjadi sebuah kata yang tertanam di dalam kepala dan hati Angkasa. Jadi meskipun itu menyakitinya, Angkasa akan tetap berusaha.

"Juna, sotonya nanti dingin. Kamu makan, gih."

Wajah anak itu yang sebelumnya menunduk perlahan terangkat. Menatap sang ayah dengan netra sedikit membulat karena terkejut. Seakan menyadari arti dari tatapan Angkasa, Ardi langsung teringat. Laki-laki itu tersenyum canggung.

"Maksud Ayah, Aksa. Maaf, ya?"

Angkasa menggeleng. "Ayah bisa manggil Juna, kok. Aksa nggak marah, lagian itu panggilan dari kecil. Dulu Aksa cuma terlalu marah sama Ayah. Jadi sempet bilang nggak mau dipanggil gitu lagi."

"Setiap kali Ayah inget, rasanya Ayah bener-bener malu sama kamu. Sama adek kamu, kalian pasti kecewa banget sama Ayah. Apalagi sekarang Ayah juga nggak bisa lindungi kalian sepenuhnya."

Angkasa menghela nafas panjang sebelum memakan satu sendok soto setelah meniupnya beberapa kali. "Aksa kecewa sama Ayah, sama Bunda. Tapi itu udah dua tahun lalu. Hidup harus bergerak ke depan, kan?"

"Rasanya Ayah lama sekali nggak ngobrol sama kamu kayak gini. Semenjak kita tinggal terpisah, Ayah berusaha jadi Ayah yang baik untuk Orion dan Aries. Tapi rasanya justru bikin Ayah makin benci sama diri Ayah sendiri."

"Kenapa?" tanya Angkasa pelan.

"Karena Ayah berusaha jadi Ayah yang baik untuk putra orang lain. Sementara untuk putra Ayah sendiri, Ayah jadi orang yang paling jahat."

Angkasa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menundukkan kepala untuk menyembunyikan bagaimana air mata kembali menggenangi pelupuknya.

"Ayah sekarang terus berusaha buat bikin Oma dan Opa ngelepasin kalian, Juna. Biarin kalian bangun kehidupan baru tapi Ayah belum berhasil. Maaf...."

Jemari Ardi terangkat untuk mengusap helaian rambut putra sulungnya itu.

"Aku takut Bunda natap aku dengan cara berbeda setelah aku kecewain Bunda, Yah."

Netra bergetar Angkasa kini berani menatap Ardi. "Setiap hari Bunda marah-marah dan itu bikin aku takut. Aku nggak bisa penuhin harapannya Bunda."

"Juna ... percaya sama Ayah. Bunda kamu cuma takut kehilangan kamu. Apalagi keadaan adik kamu nggak begitu baik. Pasti ada banyak beban di kepalanya."

"Angkasa tahu, dan rasanya Angkasa jahat banget karena nambah beban pikirannya Bunda."

"Nggak. Sama sekali nggak. Juna ... nggak ada manusia yang sempurna. Lelah, berbuat kesalahan, itu semua sifatnya manusia. Nanti Juna ngomong aja kalau emang lagi capek, biar Bunda nggak terlalu push kamu. Ayah juga akan ngomong sama Septian untuk bantu bicara sama Bunda kamu. Maaf Ayah nggak bisa ketemu Bunda kamu secara langsung, kamu tahu kan gimana hubungan Ayah sama Bunda?"

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang