13. Sebuah Aksara?

2.9K 468 42
                                    

"Terkadang yang tidak menunjukkan rasa sakit akan lebih dulu pergi tanpa Aksara sebagai salam perpisahan"

************

Angkasa sedari tadi tak melepaskan pandangnya dari pias wajah pucat Samudra yang kini tengah meminum segelas teh hangat yang diberikan oleh dokter unit kesehatan fakultas psikologi yang sedari tadi menatap intens ke arah mereka.

Si sulung itu bisa tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi sampai Bu Maya terus menatap Samudra yang hanya bisa menunduk, memainkan gelas berisi teh hangat yang tinggal separuh dalam genggamannya.

Angkasa menghela nafas, kemudian mengambil gelas dari tangan Samudra dan meletakkannya di atas nakas. Sebagai ganti, Angkasa menggenggam tangan mungil itu sembari menatap netra sang adik yang juga tertuju ke arahnya.

"Udah enakan?"

Perlahan Samudra mengangguk sebagai jawaban bahwa ia baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini. Rasa ngilu itu mereda dengan sendirinya, tanpa bisa Samudra mengerti. Kenapa ia tiba-tiba sering merasakan sakit? Dan kenapa sakit itu juga tiba-tiba sirna tanpa ia ketahui alasannya?

"Gue masih ada satu kelas lagi. Lo istirahat aja disini, abis itu kita balik." Samudra hanya mengangguk, dan memejamkan matanya merasa nyaman kala jemari besar Angkasa mengusak helaian surainya dengan lembut.

"Dokter, saya titip Mudranya sebentar, ya?"

Maya tersenyum kemudian mengangguk. "Pasti Ibu jagain."

Angkasa sekali lagi menatap Samudra yang tersenyum padanya sebelum berlari keluar untuk mengejar kelasnya yang sudah dimulai sejak 10 menit yang lalu.

Kini hanya ada Samudra dan Bu Maya. Dokter paruh baya itu melipat tangannya di dada dan mendudukkan diri di dekat bankar tempat Samudra berada. Pandangannya sedikit memicing membuat Samudra bergerak tak nyaman di tempatnya.

"Ini kenapa?" tanya Maya tanpa basa-basi sembari langsung menarik lengan Samudra.

Dimana bekas kemerahan yang menimbulkan luka akibat garukan tangan itu tampak nyata. Perlahan, Samudra menarik tangannya kembali, kemudian menggeleng.

"Saya nggak tau Buk. Akhir-akhir ini sering gatel aja, makanya saya garuk."

Maya menghela nafas panjang kemudian mengeluarkan salep dari saku jas putihnya. "Kalau gatel, jangan minum obat, jangan digaruk. Olesin ini aja."

"Kenapa Ibu peduli banget sama saya?"

"Semua dokter peduli sama kesembuhan pasiennya. Ibu ini juga orang tua, Mudra. Ibu bisa tau gimana rasanya saat orang tua kamu tahu kondisi kamu sekarang."

Maya menggenggam salah satu tangan anak itu kuat-kuat. "Ibu bisa lihat seberapa besar rasa peduli abang kamu. Jadi Ibu bener-bener minta supaya kamu berhenti konsumsi obat-obatan itu."

"Saya juga nggak tahu kenapa saya kayak gini Bu. Saya punya Bunda yang sayang sama Saya, Papa yang baik, Abang yang perhatian. Nggak ada yang salah, tapi hati saya nggak pernah bisa tenang."

Perlahan tapi pasti ada embun yang membuat pandangan Samudra tak lagi jelas. Sebisa mungkin ia menahan untuk tidak mengedipkan matanya, agar embun itu tidak lolos dan berakhir jatuh menuruni pipi tirusnya dengan cepat.

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang