15.Satu Kali Saja

2.9K 457 72
                                    

"Semua orang ingin bisa memilih, walaupun hanya sekali"

**************

Samudra sudah begitu hafal, dan kelewat mengerti apa arti dari Kematian. Dua kali ia hampir sampai pada titik itu, dan dua kali pula Tuhan masih berbaik hati dan memberinya kehidupan.

Sekarang, rasanya Samudra kembali terlempar pada titik itu, dengan sebuah keadaan yang jauh lebih serius. Ia tak bisa menghindar dari sesuatu yang mengancamnya kali ini. Tak ada jalan lain kecuali menghadapinya.

Samudra memang belum bisa memastikan bahwa ia benar-benar mengalami hal buruk itu. Tapi apa yang ia alami akhir-akhir ini adalah pertanda awal. Jalan satu-satunya agar ia bisa mengetahui kebenarannya adalah melakukan tes.

Tapi Samudra terlalu takut, sekali lagi is kembali menjadi pengecut. Ia selalu memikirkan kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau ia benar-benar menderita kerusakan ginjal? Bagaimana jika ia harus kembali bergelut dengan kematian?

Bagaimana cara memberitahu Papa dan juga Bundanya? Bagaimana cara memberitahu Angkasa, tanpa melukai mereka semua? Jiwa yang rusak sudah cukup menjadi pukulan berat untuk Samudra, dan sekarang ia harus menghadapi bahwa fisiknya juga sama rusak seperti jiwanya.

Samudra mengeluarkan tabung obat penenang dari saku jaket yang ia kenakan. Mengeluarkan dua pil seperti yang selalu ia lakukan, tapi kali ini ia meragu. Lama iris kembar Samudra menatap buliran obat berwarna putih itu sebelum kemudian menghela nafas.

Dimasukkannya satu tablet kembali ke dalam tempatnya, lalu tabung itu kembali ia sembunyikan di dalam saku. Samudra menatap sekeliling cafetaria tempatnya berada yang tampak lenggang karena sudah malam, kemudian memasukkan satu pil yang tersisa ke dalam mulutnya. Mengunyah benda itu layaknya permen gula-gula yang disukai oleh anak-anak tanpa ekspresi yang berarti.

"Kamu disini, Papa tuh nyari kamu dari tadi, Dek."

Septian muncul entah darimana, kemudian mendudukkan diri di hadapannya. Ayah tiri Samudra itu memesan satu kopi panas dan satu coklat panas untuk si bungsu kala melihat meja Samudra kosong tanpa makanan ataupun minuman.

"Kamu duduk disini daritadi nggak pesen apa-apa? Nggak diomelin sama yang punya?"

Samudra tersenyum tipis kemudian menggelengkan kepalanya. "Diem aja Ibunya daritadi. Ngeliatin aja sih, Pa."

"Ngeliatin tuh karena kamu nggak pesen apa-apa. Bentar lagi nih, kamu diusir pasti." Septian setengah melucu untuk mencairkan suasana yang entah kenapa terasa kaku diantara mereka.

"Papa!" Septian tertawa dengan nada rendah kemudian mengusak surai putranya itu dengan kasar.

"Permisi Pak, dek."

Sang Ibu penjaga meletakkan kopi panas dan juga coklat panas pesanan keduanya dengan perlahan.

"Makasih ya Bu."

Samudra langsung meraih cangkir dengan uap panas yang masih mengepul itu. Jemarinya menelusuri pinggiran cangkir yang terasa panas di ujung jarinya kemudian tersenyum kecil.

"Diminum dek, abis itu kamu pulang sama Papa. Motornya biar disini aja, besok Papa anter ke rumah."

Samudra mengangkat kepalanya. "Papa nggak jagain Abang?"

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang