09.Jatuh?

3.4K 538 82
                                    

"Bisa berdiri tegak dan memberikan sebuah senyuman, tak pernah berarti bahwa kau baik-baik saja"

**************

Arini memijat pelipisnya, pertanda bahwa wanita itu benar-benar dilanda rasa kesal yang berkepanjangan. Wajahnya memerah karena amarah, sementara Septian berjalan cepat dari arah dapur dan meletakkan 4 teh hangat untuk ia, Arini, dan anak-anak yang sedari tadi diam.

"Aku bener-bener nggak habis pikir sama istri barunya Mas Ardi."

Septian memijat bahu Arini untuk membuat istrinya itu sedikit lebih tenang.

"Nggak usah ditanggepin orang kayak gitu. Cuman bikin kamu capek aja Bun."

Arini menatap suaminya itu dengan kesal. "Mana bisa didiemin sih, Yah. Kamu liat nggak gimana dia nampar Mudra tadi? Seenaknya aja dia pukul anak aku."

"Iya, iya. Aku ngerti. Tapi kalau kamu sama kasarnya kayak dia, apa yang bedain kalian?"

Samudra menghela nafas panjang kemudian meraih ranselnya yang ada di atas sofa.

"Mudra ke rumah Jovan, Bun." anak itu bahkan tak menanti jawaban kedu orang tuanya.

Tapi langkah itu sudah benar-benar pasti menuju sepeda motornya yang terparkir di garasi. Ia tak tau apakah ia akan benar-benar pergi ke rumah Jovan, mengingat mereka berdua belum bisa disebut berbaikan.

Yang pasti ia harus pergi dari rumah, ia tak suka mendengarkan gumaman penuh rasa kesal dari ibunya. Apalagi setiap melihat sosok Arini, ia akan mengingat kejadia yang ia alami hari ini. Mengerikan.

Samudra memarkirkan motornya di depan cafe yang selalu ia kunjungi dengan Angkasa. Memesan satu gelas coklat hangat kemudian duduk di sebuah meja yang tepat menghadap ke aran pintu.

Anak itu sedikit melamun, ini baru hari pertamanya. Tapi sudah tak berjalan dengan baik. Ada beberapa mahasiswa yang mungkin melihat pertengkaran bodoh keluarga mereka tadi, terasa memalukan dan mengecewakan.

Pintu tempat itu kembali terbuka dan netra Samudra langsung beradu dengan netra milik Jovan. Si jangkung itu mengusap tengkuknya canggung sebelum mendekat ke meja pemesanan.

Samudra menundukkan kepalanya, meremat camgkir coklat panas di atas meja dan langsung berjengit kesakitan beberapa detik kemudian.

"Goblok." Jovan menahan pergelangan tangan kanan Samudra, kemudian mendudukkan dirinya di kursi kosong dekat dengan sahabatnya itu.

Iris kembar Jovan menatap bagaimana permukaan kulit sahabatnya itu memerah.

"Kalau mau megang sesuatu, nih." Jovan meletakkan sebuah bolpin berwarna biru muda di telapak tangan Samudra.

Anak itu langsung menggenggamnya sembari menarik tangannya menjauh dari Jovan.

"Ngapain lo?"

Jovan melirik ke arah meja kasir dengan dagunya. "Pesen macaroon buat gue makan di rumah."

Samudra mengangguk satu kali kemudian sibuk memainkan bolplin yang ada dalam genggamannya. Ia benar-benar merasa canggung dengan Jovan dan ini adalah hal yang sangar aneh.

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang