45. Salam Perpisahan untuk Samudra

3.2K 363 66
                                    

"Kehidupan mungkin bisa berjalan seperti yang seharusnya. Tapi bagi orang-orang yang terluka, kehidupan mereka sudah terhenti. Sulit untuk melangkah, sulit untuk melupakan."

*******

"Lun, gimana?" Juan bertanya pada Raluna dengan nafas setengah terengah.

Sudah sejak pagi hari mereka mencari Angkasa. Tapi sosok yang selama satu minggu terakhir menjadi lebih pendiam itu tak juga mereka temukan.

Tentu saja Juan khawatir. Angkasa tak menjadi dirinya sendiri semenjak kepergian Samudra. Angkasa tidak tertawa, tidak bicara, dan bahkan tidak menangis. Ini salah. Angkasa harusnya tidak menahan perasaannya selama ini.

Luka di dalam hati sahabatnya itu mungkin saja sudah membusuk sekarang. Semakin menyiksa dan juga menyesakkan. Juan mungkin hanyalah orang asing, tapi ia tahu bagaimana hubungan keduanya mengalami banyak naik dan turun sampai sekarang mencapai sebuah akhir.

Raluna mengambil ponselnya, mencoba menghubungi nomor Angkasa sekali lagi dan tentu saja tak memberikan hasil apa-apa. Nomornya masih tak dapat dihubungi sama seperti tadi pagi.

"Juan, coba lo pikirin lagi. Ini udah nggak bener, bentar lagi sore." Suara Raluna bergetar karena rasa khawatir.

"Semua tempat udah, Lun. Gue yakin semuanya udah. Mereka nggak pernah pergi ke tempat-tempat tertentu karena sibuk menuhin tuntutan ini dan itu. Angkasa juga nggak punya ruang buat dirinya sendiri, Lun. Kalaupun ada, ruang dia itu sama gue."

"Semua orang pasti punya privasi, Juan."

"Nggak buat Angkasa," ujar Juan cepat, "dia bahkan dimarahin habis-habisan karena mulai suka musik dan banyak main sama lo. Nggak semua orang punya privasi itu, Lun. Nggak semua orang punya kebebasan dan tempat-tempat yang bisa mereka kunjungin saat mereka sedih. Angkasa selalu nahan diri, milih belajar dan ngerjain soal bodoh itu saat dia sedih. Itu sebabnya gue nggak bisa tebak kemana dia pergi sekarang."

Oke, Raluna semakin merasa khawatir. Kepalanya sibuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi, dan ia membenci pikirannya untuk membayangkan hal seperti itu.

"Juan ... ada tempat yang buat Angkasa ngerasa deket sama Samudra nggak? Tempat yang mungkin mereka suka meskipun mereka nggak punya kesempatan untuk ke sana."

Seperti diberikan sebuah petunjuk, Juan langsung mengajak Raluna pergi ke suatu tempat yang ada dalam pikirannya. Mobil yang dikendarai oleh putra tunggal keluarga Karfadhi itu melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan ibu kota yang mulai memadat saat senja datang.

Juan gugup, Raluna juga merasakan hal yang sama.

********

Layaknya mendapatkan apa yang sudah ia nantikan, Angkasa langsung menarik sudut bibirnya membuat sebuah senyuman. Senyuman yang entah kenapa terasa memilukan bahkan untuk Angkasa sendiri.

Hari itu Angkasa melihat matahari terbenam dengan lebih nyata. Setengahnya sudah bersembunyi di balik samudra yang tampak tak berujung. Meninggalkan cahaya jingga layaknya lukisan di langit yang kelabu.

"Dra, gue lihat matahari terbenamnya." Angkasa bergumam. "Masih sama Indah kayak hari itu. Hari di mana gue terlambat buat ketemu sama lo."

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang