32. Meredup

2.4K 406 81
                                    

"Pernahkah kalian memperhatikan bagaimana ulat menjadi makhluk paling menakjubkan, sebelum menghilang tanpa pemberitahuan?"

************

Malam sudah sangat larut saat Arini dan Septian sampai di rumah sakit. Keduanya melangkah dalam diam sejak keluar dari mobil di basement. Tak ada pembicaraan, bahkan hanya sekedar basa basi.

Septian merenungkan beberapa hal yang memang harus dia perbaiki, sementara Arini merasa tidak nyaman dengan fakta memburuknya hubungan yang ia miliki dengan Angkasa.

Wanita itu mengusap wajahnya lelah sebelum menyadari kalau Septian menghentikan langkah. Arini berbalik dan mendapati laki-laki itu tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.

Raut wajah Septian terlihat khawatir membuat Arini otomatis mendekat dan mengusap lengan suaminya itu. "Kenapa, Pa?" tanya Arini pelan.

"Salah satu pasien tetap ku collapse hari ini. Aku harus ke UGD untuk menemani dokter yang menanganinya. Memastikan nggak ada hal buruk lagi." Septian berpikir sebentar. "Jas masih di ruangan Mudra, ayo kita ke sana dulu."

Arini mengikuti langkah tergesa Septian, saat melewati koridor menuju ruang rawat, Arini bisa mendengar tangisan wanita, meneriakkan sebuah nama yang diakui sebagai putranya dari area UGD.

"Pa, pasienmu ini kenapa?"

"Percobaan bunuh diri. Dia lompat dari rooftop sekolahnya."

Entah kenapa mendengar kenyataan itu langsung membuat langkah Arini terhenti. Tubuhnya menegang bersamaan dengan air mata yang menggenang dibalik pelupuknya. 'Bunuh diri' adalah kata-kata yang tak pernah Arini ingin ingat kembali. Cukup dua tahun lalu ia nyaris kehilangan.

Seakan mengerti Septian langsung merangkul bahu Arini. "Arini, nggak apa-apa. Samudra baik-baik aja sekarang, Aksa juga pasti di sana. Kamu bisa awasin mereka nanti. Lihatin mereka sampai pagi kalau bisa."

Sedikit menghela nafas Arini kemudian mengangguk. Mengikuti langkah Septian yang membimbingnya dengan perlahan. Membukakan pintu ruang rawat Samudra untuk mendapati orang lain berada di sana.

Dahi Arini dan Septian sama-sama mengerut saat melihat Jovan tertidur di sebelah Samudra. Di atas bankar yang memang berukuran cukup besar untuk ditempati Samudra sendirian. Netra Arini menelisik sekeliling kamar, mencari keberadaan Angkasa dan justru nihil. Ia tak mendapati putra sulungnya itu.

"Pa, Aksa nggak ada."

"Arini, kamu coba telfon dia dulu ya. Siapa tahu lagi keluar atau pulang ke rumah. Nanti kalau ada apa-apa kamu hubungin aku."

Arini mengangguk, membiarkan Septian mengambil jas kerjanya dan melayangkan sebuah kecupan singkat di dahi sebelum keluar dari ruangan.

Arini mengeluarkan ponsel dari tasnya kemudian menghubungi nomer Angkasa. Nada sambung terdengar untuk seperkian detik sampai akhirnya suara Angkasa terdengar.

"Iya, Bun?"

"Kamu dimana? Kamu nggak baca wa Bunda tadi? Bunda suruh kamu buat temenin Mudra, Aksa."

"Aku di rumah. Tadi udah ke rumah sakit tapi malah berantem sama Mudra. Jadi Aksa milih pulang aja."

"Kamu berantem sama Mudra?" Arini sedikit meninggikan suaranya.

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang