25. Normal?

2.6K 442 96
                                    

"Pernahkah kalian berpikir, jika seseorang yang terlihat sempurna juga membenci dirinya sendiri di beberapa waktu tertentu."

*****************

Pagi itu Angkasa tengah sibuk dengan laptop dan buku-bukunya meskipun sudah berada di meja makan. Kedua jemari panjang itu sibuk mengetuk setiap huruf di papan keyboard sehingga menimbulkan suara berirama yang menenangkan.

Netranya berfokus pada tugas tentang perencanaan pesan-pesan bisnis yang harus ia kumpulkan minggu depan.

Septian meletakkan buku catatan yang sebelumnya ia baca, kemudian melepas kacamata yang bertengger dengan manis di hidungnya, sebelum melipat tangan di dada dan menatap Angkasa.

"Bang ... masih pagi loh ini."

Angkasa tersenyum kecil tanpa menatap ayahnya itu. "Ngejar target, Pa."

"Makanya kamu jangan main terus." Arini yang datang dengan nampan berisi dua gelas susu dan dua gelas teh itu langsung menyahut.

"Abang mana pernah main sih, Bun," ujar Septian sebelum meniup teh miliknya perlahan.

"Semalem aja pulang jam sebelas malam. Ngomongnya kerja kelompok tapi siapa yang tahu, kan? Anak muda loh itu."

Arini kembali beranjak menuju dapur membuat Septian menghela nafas panjang setelahnya. Netra ayah dua anak itu menatap kaca mata yang bertengger di hidung manis Angkasa, tidak seperti biasanya.

"Bang, itu mata kamu capek banget. Semalam tidur jam berapa?"

Angkasa sedikit bergeming. "Setengah lima lebih kayaknya, setelah sholat subuh."

"Abang kamu bangun jam setengah enam loh pagi ini. Tidur cuma satu jam? Kamu semalam ngapain aja?"

"Lembur bikin tugas perpajakan, Pa. Soalnya besok harus fokus sama materi debat, kan masuk semifinal."

Jemari besar Septian mengusak surai putra sulungnya itu lembut. "Angkasa, melakukan yang terbaik itu penting. Tapi kesehatan kamu, kebahagiaan kamu jauh lebih penting."

"Mas ... bagus dong kalau Abang bisa tanggung jawab dan melakukan yang terbaik sama apa yang dia lakuin."

"Arini ...." Septian menatap istrinya itu lelah.

"Bang, panggil adik kamu dulu. Ajak sarapan."

Angkasa mengangguk kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah menuju kamar Samudra. Setelah membuka pintu ia bisa melihat Samudra duduk di tepian kasur sembari menatap sepatunya sendiri dalam diam. Kentara setengah melamun, dan sesekali menghela nafas lelah.

Si sulung itu melangkah mendekat lalu bersimpuh di hadapan Samudra. Menatap netra adiknya yang sedikit terkejut, tapi berusaha menghindar dari tatapan penuh tanya darinya.

"Kenapa?"

"Pergelangan kaki gue bengkak. Nggak enak rasanya pake sepatu."

Angkasa otomatis meraih pergelangan kaki Samudra dengan perlahan dan mendapati bengkak yang cukup besar dan keras di sana.

Rahasia Sang Samudra [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang