"Tok Abah.." Hali terbangun dari memori yang senantiasa menjadi mimpi buruknya. Dengan keringat dingin yang mengembun di pelipisnya, pandangan matanya buram karena air mata. Mencengkram kuat kaos oblongnya, berusah menghilangkan sesak yang terasa menyiksa dari sudut terdalam di hatinya.
"Kak Hali?" Itu suara Gempa. Dari penerangan minim di kamarnya, Hali dapat melihat Gempa ada di sisi ranjangnya, sedang memeras saputangan di atas wadah air.
"Ah, Gempa. Kupikir tidak ada siapa-siapa tadi." Hali cepat-cepat menghapus air matanya yang hampir saja tumpah. Dia memang sekamar dengan Gempa dan Taufan, tapi mereka lebih sering menghabiskan waktu diluar kamar. Gempa dengan kebiasaan menonton film bila larut malam, dan Taufan yang terus mengganggu adik-adiknya tak kenal waktu.
"Aku sudah melihat semuanya. Kak Hali mengigau keras semalam, jadi aku terbangun. Ternyata Kak Hali demam karena terlalu banyak luka akibat kejadian semalam." Gempa menjelaskan semuanya. Sudah sejak satu jam yang lalu dia berusaha mengobati kakak sulungnya itu.
"Ini bukan luka serius, Gem. Sudahlah-"
"Bisakah Kak Hali berhenti bicara seperti itu?!" Hali tidak suka membuat adik-adiknya khawatir, dia selalu berpikir untuk mengobati lukanya sendiri dan berujung lupa karena terlalu sibuk. Dia memang handal dalam hal menyembunyikan sesuatu, tetapi jika Gempa sudah mengetahuinya maka habislah sudah. Gempa akan marah besar padanya.
"Baiklah.. maaf." Hali menyerah. Gempa hanya akan semakin marah jika dia kembali menyangkalnya. Walau jauh di dalam lubuk hatinya dia merasa hangat diperlakukan Gempa seperti ini.
Gempa sendiri hanya bisa mengobati Hali jika dia sudah jatuh tertidur, karena Hali tidak pernah mau diobati. Lalu Gempa akan berbalik marah seperti ini jika Hali tiba-tiba terbangun di tengah proses pengobatannya.
"Mimpi tentang Tok Abah lagi, hm?" Tanya Gempa, masih fokus dengan beberapa plester dan obat merah. Pertanyaan yang menyakiti Hali sekaligus Gempa.
"Yeah. Begitulah." Hali tersenyum tipis dengan mata ruby yang terlihat terluka. Menghembuskan nafas berat. Sementara Gempa tahu, Hali yang paling sering bermimpi tentang hari itu diantara mereka.
"Beristirahatlah. Aku akan membangunkan Solar." Gempa mulai membereskan segala macam obat dan saputangan selesai mengompres tadi. Beranjak dari duduknya, membiarkan Hali sendiri. Enggan bertanya lebih jauh soal mimpi buruk itu.
"Ah, tidak. Aku akan masuk hari ini. Ada banyak hal yang harus aku diskusikan dengan Kokoci soal kejadian semalam." Hali mulai bangkit dan meraih handuk. Berjalan ke arah kamar mandi sambil mengacak rambutnya yang sudah berantakan sejak awal.
Gempa sebenarnya ingin menentang keputusan Hali untuk masuk, tapi dia urungkan. Toh dirinya satu divisi dengan kedua kakaknya, dia bisa sambil mengawasi kakaknya itu. Langkahnya mulai berjalan ke kamar Solar dan Thorn, yang berada di lantai atas.
"Solar, ini Gempa. Kakak ingin tahu, apa kamu ingin sekolah atau tidak? Jika tidak, biar kubuatkan surat izin." Gempa mengetuk pintu kamar mereka. Karena tragedy semalam, Gempa akan mewajarkan jika Solar tidak ingin sekolah. Pasalnya mereka semua baru bisa beristirahat jam tiga pagi.
Solar yang ada di balik pintu sebenarnya sudah siap untuk sekolah, hanya saja ketakutan menyelimutinya begitu erat. Dia menatap tangan kanannya yang sudah dipakaikan sarung tangan, mengepalkan tangannya penuh keraguan.
"Solar? Thorny? Apa kalian masih tidur?" Gempa kembali mengetuk pintu karena tidak ada respon yang didapatnya.
Thorn mengelus pelan pundak Solar, dengan senyum optimis dia mengangguk. Berusaha menguatkan adik satu-satunya itu. Meski jauh di dalam hatinya, ada rasa takut yang sama dengan yang Solar rasakan. "Semuanya akan baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm the Demigod! (Boboiboy Fanfic AU) {END}
FanfictionDiantara Pekerjaan dan Saudara, mana yang akan kau pilih? Pekerjaan dengan segala gengsi dan jabatannya. Menuntunmu menjadi setinggi bintang di angkasa. Dengan gemerlap sanjungan yang membutakan mata. Atau saudara dengan kepercayaannya yang begitu r...