12 - Who's the Traitor?

299 39 5
                                    

Suasana menegangkan itu masih berlangsung. Marah dan gelisah bercampur aduk dalam benak mereka, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ingin menyangkal fakta bahwa salah satu dari mereka adalah pengkhianat, namun bukti sudah terlanjur berbicara dengan jelas.

"Aku mengerti. Tidak ada penjahat yang mau mengaku dirinya penjahat, apalagi di hadapan keluarganya sendiri." Hali memecah keheningan, membuat beberapa diantara adiknya sedikit terkejut.

"Bagaimana kalau masing-masing diantara kita membuat 'pembelaan' saja?" Blaze ikut angkat bicara, dalam kondisi serius dia selalu memberikan masukan yang masuk akal.

"Ide bagus. Bisa kau mulai, Blaze?" Hali menerima idenya dan melempar balik rencana itu pada sang pembuat ide.

"Yah, aku tidak akan mengatakan kalau bukan aku pengkhianatnya. Pernyataan seperti itu justru menarik kecurigaan, itu hanya omong kosong yang akan dikatakan pengkhianat sesungguhnya bukan?" Blaze terlihat yang paling santai diantara saudaranya yang lain, mulai beralibi sambil menatap ke arah bawah.

"Aku juga tidak akan membela diri, tidak ada gunanya membela diri dibawah praduga sebagai pelaku. Jadi yang ingin kukatakan hanya aku cukup sibuk belakangan ini. Saking sibuknya, data jadwal aktivitasku dua puluh empat jam penuh selama enam hari dalam seminggu tercatat di Agensi, kalian bisa mengecek sendiri di bagian administrasi. Sisanya, kalian dapat bersaksi sendiri atas apa yang kulakukan di hari minggu. Itu saja sih."

Hali mengangguk, kelihaian Blaze dalam berdiskusi memang mengagumkan. "Itu cukup. Ice, kau bisa mulai giliranmu."

"Baiklah. Harus kuakui, aktifitasku belakangan ini memang.. berantakan. Mungkin akulah tersangka yang paling patut dicurigai. Aku sangat menyadari hal itu dan aku tidak berusaha menyangkal. Tapi terus terang aku tidak peduli. Jadi, aku lebih ingin menanyakan pendapat kalian. Menurut kalian, apa motif si pelaku melakukan ini?"

"Satu yang pasti, pelakunya mulai tidak mempercayai kita." Taufan mengeluarkan satu kesimpulan yang jelas.

"Ya, itu benar. Dia tidak mungkin mengkhianati orang-orang yang dia percayai" Thorn memeluk kakinya begitu erat dengan senyuman kecut yang terlukis di wajahnya.

"Tapi, tidakkah itu terasa sedikit mengganjal? Maksudku, kurasa kita selalu bersikap terbuka dan saling mempercayai satu sama lain. Aku setuju dengan pendapat Kak Taufan, tapi pasti ada sesuatu yang menyebabkan kepercayaannya rusak 'kan?" Gempa tanpak berpikir keras.

"Aku baru saja ingin mengatakan hal itu. Sepertinya kita sepemikiran, Kak." Ice melempar senyum simpul pada Gempa.

"Ditambah lagi, pengkhianatan ini bukan hal yang kecil. Dia mengkhianati kita, juga Agensi yang sudah kita anggap sebagai keluarga sendiri. Hal ini pasti membutuhkan suatu dorongan kuat, pasti ada sesuatu yang besar yang menyebabkan dia terpaksa mengambil keputusan ini." Kemampuan analisis Blaze memang dapat dikatakan sebagai salah satu yang terbaik.

"Kita sangat menikmati waktu yang kita lewati bersama.. mugkin dia memang terpaksa bukan?" Sedih serta gelisah tercermin jelas dari wajah Thorn.

"Iya.. kalian semua merasa bukan kalau situasi di rumah ini berubah?" Gempa mendapat anggukan pelan dari kelima saudaranya.

"Yeah, tapi.. sejak kapan ya?" Taufan menyahut.

"Entahlah.. tidak ada yang sadar sejak kapan. Ketika kita sadar, semuanya sudah berubah." Blaze membalas.

"Kalau kita sadar lebih cepat, mungkin kita bisa mencegahnya mengkhianati kita." Ice mengangkat bahu.

"Huh? Kita? Memangnya yakin, bukan kau pengkhianatnya?" Kata-kata itu keluar dari mulut Hali, meluncur tajam dan menusuk. Bukan hanya Ice, semuanya merasa takut mendengarnya.

I'm the Demigod! (Boboiboy Fanfic AU) {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang