d u a b e l a s

2.3K 162 1
                                    

Keduanya kini berada dalam ruang BK. Ara mendesah, gadis itu lagi-lagi melanggar janjinya sendiri. Padahal saat masuk ke sekolah ini Ara telah berjanji tidak akan membuat masalah dan berujung berada si ruangan BK seperti disekolahnya dulu. Namun janji hanyalah janji. Yang telah terjadi tak bisa disesali.

Ditatapnya guru berkumis yang kini memandang keduanya dengan amarah.

"Kalian telat dan masuk lewat belakang sekolah?"

Ara diam tidak menjawab sementara Dewa mengangguk mengiyakan, "benar sekali."

Guru berkumis itu memperbaiki kacamatanya yang melorot, "kalian harus dihukum karena terlambat dan tidak ikut upacara."

Ara menghembuskan napasnya pasrah. Gadis itu memang sudah tak asing lagi dengan yang namanya hukuman. Dulu saat bersekolah di Jakarta Ara sering dihukum bahkan sampai skorsing pun dia pernah.

"Hormat di depan bendera sampai istirahat selesai!"

Ara berdecak. Dari banyaknya hukuman, berjemur dibawah sinar matahari dan mendongak untuk hormat ditiang bendera adalah sesuatu yang Ara benci. Jika bisa memilih gadis itu lebih baik membersihkan toilet daripada berjemur.

"Okay!" Dengan langkah santai Dewa berjalan meninggalkan Ara yang masih duduk diruang BK.

"Ngapain masih disini?" Guru itu bertanya membuat Ara tersentak lalu segera bangkit menyusul Dewa.

"Gue nggak nyangka kalo hukuman bisa seromantis ini." Ara mengernyit, menatap Dewa dengan pandangan geli.

Keduanya kini tengah hormat di depan tiang bendera dengan matahari yang menyorot langsung kewajah mereka.

"Gue baru tau lo semenggelikan ini." Ara berujar namun matanya tetap terarah pada tiang bendera.

Dewa menoleh, menatap wajah Ara dari samping. Gadis berhidung mancung dengan bibir pink alami itu tengah kepanasan, terlihat dari peluh yang bermunculan di dahinya.

Lelaki itu menangkup wajah Ara dengan kedua tangannya hingga gadis itu kini menghadap dirinya. Tangannya bergerak lihai mengelap keringat didahi Ara.

Jangan tanya bagaimana kondisi jantung Ara sekarang. Karena saat punggung tangan Dewa menyentuh dahinya jantungnya sudah mulai berisik. Ara mengumpat karena memiliki jantung yang murahan. Baru dibersihkan keringat yang ada didahinya saja jantungnya sudah heboh.

"Lo apa-apaan sih?!" Ara menutupi kegugupannya dan memandang galak Dewa.

"Gue cuma ngelap keringet elo."

Ara berdecak, "gak usah sok perhatian deh!"

Kemudian hening menguasai mereka meskipun detak jantung keduanya saling berlomba-lomba.

°°°

Setelah hafal jalanan kantin, kini Ara memang lebih sering ke kantin sendiri karena kadang Airin lebih memilih ke perpustakaan.

"Lho, ketemu lagi kita."

Ara berdecak, menatap jengah lelaki yang tersenyum padanya kemudian ikut duduk di depannya dan menaruh semangkok bakso milik lelaki itu serta es teh manis dimeja yang Ara duduki.

"Kok gak dimakan?" Dewa bertanya saat melihat Ara hanya mengaduk batagor dipiring gadis itu.

"Ngapain sih lo duduk disini?!" Ara menatap sengit Dewa, mengabaikan pertanyaan yang lelaki itu lontarkan kemudian menatap sekeliling yang kini memperhatikannya karena ia duduk dengan Dewa.

Ara mendesah. Setenar apa sih Dewa ini hingga duduk dengan lelaki itu saja sudah membuatnya menjadi pusat perhatian?

"Masa gak boleh duduk disini?" Lelaki itu malah balik bertanya dan segera memasukkan bakso kedalam mulutnya.

"Mau bakso gak?" Dewa menyodorkan sendok berisi bakso dengan urat yang kini nampak menggoda oleh matanya.

Mendadak Ara menyesal karena lebih memilih memesan batagor alih-alih bakso karena tadi antrean cukup panjang.

"Buku mulutnya, aaaa."

Ara kalah. Gadis itu berakhir membuka mulut kemudian mengunyah bakso yang Dewa berikan padanya. Kantin heboh, kebanyakan para siswi menatap iri dam sebagian lagi menatap Ara benci.

Deringan ponsel miliknya membuat Ara tersadar dari lamunannya kemudian dahinya mengernyit saat melihat id caller di ponselnya.

"Halo?" Lelaki itu berujar begitu telepon tersambung dan hanya dijawab gumaman oleh Ara.

"Kamu udah makan? Abang mau minta maaf karena hari ini abang gak bisa jemput kamu, Rana juga ada meeting sore ini. Kamu pulang sendiri, gak apa-apa kan?" Jenar berujar dengan lirih, lelaki itu berucap dengan nada bersalahnya.

"Gak papa, aku bisa pulang sendiri."

Jenar menghembuskan napas lega, "tapi kamu harus tetap hati-hati. Naik taksi aja pulangnya, nanti abang ganti uang kamu."

"Iya, bang."

"Yaudah, abang tutup teleponnya. Pulangnya hati-hati. Sekali lagi, maafin abang."

Ara hanya bergumam hingga kemudian telepon terputus, membuat gadis itu menghembuskan napas lelah.

"Kenapa lo?" Ara mendongak, menatap Dewa yang keberadaannya terlupakan oleh dirinya.

Ara hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Sori, gue tadi denger. Kalo gak salah lo gak bisa dijemput dan bakal pulang sendiri?" Dewa bertanya memastikan membuat Ara yang sudah ketahuan mengangguk saja.

"Lo pulang bareng gue aja."

Kalau begini ceritanya, kapan gadis itu bisa move on?

°°°

Virtual Relationship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang