t i g a b e l a s

2.1K 134 0
                                    

"Ngapain masih duduk? Naik!"

Ara memandang lelaki yang menunggangi motor KLX kuning lengkap dengan helm fullface-nya.

"Gak!" Ara menolak keras. Gadis itu sudah cukup tersiksa dengan tatapan teman sekelasnya yang kian hari kian menyebalkan.

Dan jika hari ini ia pulang dibonceng Dewa apalagi masih banyak siswa siswi yang berdiri didepan gerbang menunggu jemputan, pasti besok dirinya akan semakin dikucilkan.

"Gue gak mau!" Ara kembali berujar saat Dewa menghampirinya sembari melepas helm fullface-nya.

Dewa diam tidak menjawab. Lelaki itu ikut duduk disamping Ara. Keduanya diam sekitar dua puluh menit dan sekolah sudah mulai sepi, Ara menoleh saat melihat sekumpulan siswa anak Bina Nusa berlari kearah gerbang sekolah hingga membuat Dewa berdecak kemudian menggandeng tangan Ara dan segera memakai helm-nya lagi.

"Cepet naik!!"

Gadis itu menurut karena panik juga kenapa anak Bina Nusa rombongan membawa balok kayu dan mengepung sekolah mereka. Motor KLX Dewa melaju meninggalkan sekolah yang kini diserang.

"Ada apaan, Wa?!" Tanya Ara sedikit berteriak.

"Tawuran. Gue gak nyangka kalo mereka bakal nyerang sekolah kita."

Ara diam. Gadis itu terlampau syok. Hingga lima belas menit kemudian, keduanya sampai didepan rumah Ara.

"Lo langsung masuk, jangan kemana-mana." Ujar Dewa begitu Ara turun dari motornya.

Gadis itu mengangguk, "makasih, ya. Hati-hati dijalan." Ujar Ara yang diangguki oleh Dewa.

"Lo mau kemana?" Ara bertanya membuat Dewa tersenyum.

"Bantuin temen-temen gue disekolah."

Tanpa banyak kata lelaki itu kembali melajukan motor KLX kuning kesayangannya menuju sekolah.

Ara menatap kepergian Dewa dengan hati cemas. Apalagi saat gadis itu tadi melihat segerombolan anak Bina Nusa yang membawa balok kayu dan menyerang sekolah mereka.

°°°

Pagi ini Ara menyempatkan diri untuk memasak. Meskipun tidak terlalu pandai memasak, namun jika hanya membuat nasi goreng, Ara bisa.

"Lho, tumben kamu masak?" Jenar duduk dimeja makan sambil menatap adiknya dengan raut bingung.

"Pengen."

"Padahal tadi abang udah mau masak. Kamu masak apa?" Tanya lelaki itu santai kemudian membuat susu untuk Ara dan kopi untuk dirinya sendiri.

Jam masih menunjukkan pukul enam kala Ara telah menyajikan nasi gorengnya kedalam piring untuk bisa dinikmati.

"Abang baru tahu kalau kamu bisa masak," Jenar berujar sambil menyicipi masakan adiknya, "enak lho ini." Lanjutnya berkomentar membuat Ara tersenyum.

Gadis itu menyuapkan hasil masakannya sendiri kedalam mulut. Tersenyum puas begitu lidahnya merasakan sesuatu yang luar biasa enak dan itu berasal dari masakan simpel buatannya sendiri.

"Oh iya, ini uang buat ganti ongkos taksi kemarin." Jenar mengeluarkan uang berwarna merah muda didepan piring adiknya.

Ara speechless, gadis itu bingung harus menjelaskan bagaimana. Pasalnya kemarin dirinya pulang bukan menggunakan taksi, melainkan Dewa yang mengantarnya.

"Kemarin aku gak naik taksi," cicitnya pelan membuat Jenar yang sedang mengunyah langsung menatap adiknya.

"Terus naik apa?"

"Dianterin temen. Aku udah nolak, tapi keadaan memaksa, yaudah deh pulang sama dia. Jadi, uangnya gak usah deh karena aku gak naik taksi kemaren." Penjelasan Ara membuat Jenar tersenyum. Pasalnya ini adalah kalimat terpanjang yang pernah lelaki itu dengar setelah sebulan Ara berada di Bandung.

"Uangnya tetep buat kamu. Tapi, siapa nih yang nganterin kamu?"

Ara membatu. Bahkan kunyahannya berhenti saat kakaknya menanyakan hal itu.

"Itu temen–"

"–cowok ya?" Jenar menyela membuat Ara menghembuskan napas pasrah kemudian mengangguk.

"Bagus deh, kapan-kapan kamu ajak kerumah aja."

Ara melongo, "kita cuma temen, ngapain abang mau ketemu?" Tanya Ara waspada. Jika tahu dirinya pernah menjalin hubungan dengan Dewa pasti Jenar akan menjadikannya bahan ledekan.

Kakak beradik itu telah resmi berbaikan di Minggu kedua Ara di Bandung. Gadis itu kembali mengingat dimana kakaknya meminta maaf.

"Abang minta maaf, kalaupun bisa milih, abang juga akan hadir di pemakaman bunda!" Jenar berujar ketika adiknya sedang duduk menonton televisi.

"Aku udah gak masalah sama itu. Masalahnya kenapa setelah pemakaman bunda dan abang balik ke Bandung, abang gak pernah hubungin aku lagi?!" Ara berteriak menatap sengit kakaknya.

Jenar menghela napas, berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak.

"Karena abang ngerasa bersalah sama kamu. Abang gak mau bikin kamu gak nyaman," Jenar menatap adiknya dengan penuh sesal, "abang minta maaf, Ra..." Lanjutnya membuat Ara menghembuskan napas, sebenarnya gadis itu juga merasa tersiksa karena selama bertahun-tahun keduanya perang dingin. Ditambah sekarang dirinya numpang hidup dengan kakaknya, mungkin sudah saatnya dirinya memaafkan Jenar, satu-satunya keluarga yang amat peduli terhadapnya.

"Abang cuma pengen main aja sama dia, kenapa kamu heboh banget?" Suara Jenar membuat Ara tersadar dari lamunannya.

"Gak papa sih," akhirnya hanya itu jawaban yang keluar.

Setelah menyiapkan bekal untuk seseorang, gadis itu segera menggendong tasnya dan berjalan menuju mobil kakaknya yang telah siap mengantarnya ke sekolah.

"Tumben banget bawa bekal," Jenar berkomentar yang hanya dijawab deheman oleh Ara kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan rumah.

°°°

a/n : kira-kira bekalnya buat siapa ya?
Hi! Maaf bgt ya, dua hari ini gak update. kmrn bener2 sibuk kerja. So, jgn lupa vote dan komennya💖

 So, jgn lupa vote dan komennya💖

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ara ku sayang

Ara ku sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jenardi

Virtual Relationship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang