Pertemuan

137 37 17
                                    

"Van, mau gue kenalin sama cewek jurusan International relation engg--"

"Skip," potong gue yang lagi ngetik di laptop.

Mahendra dan Satria sontak menatap gue aneh. Apalagi Mahendra, dia ngasih gue termometer. Jangan tanya kenapa dia bawa benda itu, gue pun gak tau.

"Gue gak salah denger? seorang Vano mengacuhkan momen ini? anaknya cantik loh Van! supel! enak diajak ngobrol! berduit!" Mahendra mukul-mukul meja.

"Gue udah tobat." Minuman yang dipegang Satria langsung tumpah. Dramatis sekali reaksi mereka berdua.

Selang dua hari sejak pengusiran yang dilakukan Nathan. Gak ada lagi gangguan yang gue alami di malam hari dan kehidupan gue kembali tenang. Namun ada perbedaan setelah mendapatkan kejadian sial itu. Gue pensiun dari permainan cinta-cintaan, sesuai dengan wejangan Nathan.

"Lo beneran Vano, kan," tanya Mahendra. Muka gue dipegang-pegang dan dianalisis. "Vano...lo salah makan atau gimana? kenapa jadi sok alim begini?"

"Seriusan, gue udah gak mau ngelakuin itu lagi." Tangan Mahendra gue singkirkan. "Oh iya, Sat. Mobil lo nanti dipake gak? gue mau minjem boleh? motor gue bensinnya abis terus dompet gue kosong."

"Lah, katanya udah tobat?"

"Gue mau ke makam," jawab gue.

"Oh...kirain mau dipake buat nyulik cewek."

"Gue gak se-bejat itu." Gak sengaja kedua mata gue melihat seorang mahasiswa berpayung abu-abu dari kejauhan. Dia berjalan ke arah kita bertiga, siapa lagi kalau bukan Nathan,"Waduh."

Buru-buru bahan artikel buat konten instagram himpunan sastra jepang gue rapihin dan gak lupa dikirim ke email ketua divisi. "K-kelar, gue cabut dulu. Mana kuncinya?"

Satria memberikan kunci mobilnya ke genggaman gue, "Kok buru-buru banget kayak dikejar anjing?"

Gue memakai jaket dan mengenakan tudung kepala, "Kalo Nathan nanyain gue ada di mana. Bilang, enggak tau. Oke? Jya (bye)!"

"Lah, ngapa?"

Kemudian gue menyambar tas beserta laptop. Mau ngapain? kaburlah! belum siap ditagih utang sama Nathan, soalnya duit gue belum ada. Lima ratus ribu itu lumayan banyak. "Kenapa gak minta ke papa aja?" enggak, gue ditolak mentah-mentah waktu minta duit lewat telepon dan bonusnya gue malah dimarahin. Makanya untuk saat ini, gue menghindar dulu dari Nathan.

"Fyuh." Gue berucap lega saat duduk di bangku pengemudi.

Baru sesaat keadaannya menenangkan jiwa dan raga. Hape gue bunyi.

Ting!

Nathan (100 notifikasi)
|Dimana lo?

Ini orang kayak debt collector sumpah.

Gue mematikan handphone, bersandar, lalu mengatur napas. Lari dari gedung humaniora ke tempat parkir lumayan bikin ngos-ngosan, "Oh iya..."

Pandangan gue terhenti pada tas besar yang biasa gue bawa buat perkuliahan. Sekantong plastik berisi kemeja rapih dikeluarkan dari dalamnya. Untuk beberapa saat gue terdiam dan menghela napas panjang.

"Gue gak punya duit buat beli bunga ya...? yah tapi seenggaknya gue dateng pake pakaian bagus."

Gue melepas kaos yang gue kenakan dan menggantinya dengan kemeja putih polos kemudian menjalankan mobilnya. Destinasi gue adalah makam yang terletak di daerah dekat SMA Kreker. Lebih tepatnya, makam Eric Sohn. Terakhir kalinya gue bersimpuh di depan batu nisan itu kalau enggak salah, tiga bulan lalu.

To be With U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang