File 15

84 20 32
                                    

(!) chapter ini berpotensi membuat mood anda turun naek—kayaknya?

enjoy!

.
.
.
.

Udah lama gue gak masuk ke kamar Eric, sambil ngeringin rambut pake hairdryer, gue melihat-lihat sekeliling dan sama sekali gak menemukan adanya perubahan. Dari dulu sampai sekarang kamarnya itu masih sama, letak barang-barangnya gak ada yang berpindah, termasuk si replika yang tengah duduk di atas kasur atau kita sebut aja, Eric si boneka.

Gue mematikan hairdryer lalu melangkah menuju lemari berukuran sedang yang ada di sebelah meja belajar. Pelan-pelan gue membukanya, menemukan baju-baju Eric yang tertata rapih di dalam sana, "Minjem ya, Ric. Iya, ambil aja Van."

Yailah...nanya sendiri, jawab sendiri.

Tapi tenang, gue udah ada persetujuan dari mamanya Eric, justru beliau yang nyuruh gue buat make bajunya. Daripada gue basah kuyup, jadilah gue nurut-nurut aja.

"Pake yang mana, ya?"

Setelah berpusing-pusing ria. Akhirnya, gue memilih kaos berwarna putih polos karena emang kebanyakan baju punya Eric warnanya itu-itu aja, kalau gak putih...ya, item. Berbeda banget sama kepribadian dia yang mencolok dan ceria. Gue pikir dia suka warna pink gitu atau ungu janda.

Tiba-tiba gue jadi keinget Nathan...dia yang kepribadiannya monoton kayak ubin kantor kelurahan aja ngoleksi baju berwarna cerah. Ternyata selera orang gak bisa diprediksi, ya.

Gue memperhatikan rintik-rintik hujan yang mengalir di luar jendela.

....lagi-lagi sosok Nathan mampir di pikiran gue.

Buru-buru gue menghapus semua pikiran yang menumpuk lalu melepas baju. Namun, di saat gue lagi bertelanjang dada, ada hantu cewek yang seenaknya menembus tembok kamar. Dia menjerit sambil menutup kedua matanya pake tangan. Harusnya gue gak sih yang begitu?

"Vano, bikin kaget! lo ngapain di sini!?"

"Makanya, jadi hantu tuh nongolnya biasa aja...kalo bisa ketok dulu pintunya kek, Ibunda Cempaka yang terhormat."

"Ya, gue kan gak tau. Biasanya kamar Eric kosong. Eh, bentar, bentar...nada lo kok kayak lagi bete amat sama dunia. Lagi banyak masalah, Van?"

"Begitulah," bales gue sembari memakai baju, "Abis darimana, bunda?"

"Abis main ke rumah tetangga. Ada dedek bayi yang baru lahir, mukanya lucu banget..." Cempaka lompat ke atas kasur dan tiduran di sana, gak meduliin replika yang nyungsep gara-gara dia. Dengan berbaik hati, gue ngebetulin boneka itu.

"Tenaga lo gede ya...bisa ngejatohin ini."

"Oiya, iya, maap! karena lagi seneng, tenaga gue jadi gak ke kontrol deh." Dia memeluk Eric kemudian membelai kepalanya, "Umumumu, maap, sayang...."

Ini setan gak waras, sumpah.

"Apa liat-liat?"

"Eng...gak papa..." Gue menggantung baju yang basah di kenop pintu, dilanjut mengeringkannya dengan hairdryer.

Drrtt!

Bertabrakan dengan bunyi desingan mesin pengering, handphone yang gue taruh di atas meja bergetar, nandain kalau ada yang nelepon. Gue menangkap suaranya dengan jelas, tapi gue sama sekali gak tergerak untuk mengangkatnya.

Cempaka berdeham, "Dehan is calling...tuh temen lo yang kacamataan neleponin."

"Biarin aja."

"Kok gak diangkat, sih? kalian lagi berantemkah?"

To be With U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang