File 2

121 35 17
                                    

Sepertinya emang bener Nathan dan Eric itu mirip.

Gak cuma soal wajah, tapi mereka berdua ternyata sama-sama susah diajak bersekutu. Bayangin aja, gue dari kemaren sore nge-chat dia lalu apa jawabannya? tentu tidak dijawab kawan, di-read doang. Gue yang tadinya mau minta tolong menyelidiki soal jimat langsung pending seketika karena sapaan pun tidak dihiraukan.

"Mas, ini kembaliannya."

Terkadang gue merenung, mempertanyakan soal status gue sama Nathan. Kita ketemu terbilang sering bahkan setiap hari, tapi dia seakan-akan nganggep gue orang asing. Apa jangan-jangan gue cuma dianggep asisten yang dijawab kalau menyangkut kerjaan aja?

Otak gue overthinking di siang bolong begini.

"Hello, Mas?"

Entahlah, mungkin hati Nathan terbuat dari baja sampe-sampe gue gak bisa ngajakin cowok dukun itu buat temenan. Ibaratnya, gue sebagai pejuang dan Nathan sebagai benteng takeshi. Nerobosnya mati-matian.

"Kembaliannya, Mas."

Gue menghela napas penuh kegalauan, udah lewat dari dua puluh empat jam.

Tin! tin!

Lamunan gue langsung buyar terus kaki gue keserimpet ban gara-gara kaget ada yang ngebunyiin klakson dengan nyaring. Beruntung, gue tetep bisa nyeimbangin badan.

"Heh, bocah! cepetan minggir, ini saya mesti ngisi bensin terus cap cus ke mesjid buat pengajian! jangan planga-plongo planga-plongo di depan!" Di belakang gue, seorang emak-emak bergamis berteriak lantang. Berbanding terbalik sama baju putih yang meneduhkan hati, mukanya galak kayak guru perpustakaan. 

"Maap atuh, bu."

"Cepetan jalan! ngalangin deh, ah."

"I-iya, iya, ini mau jalan kok," ucap gue habis itu duduk di atas jok.

"Mas, ini kembaliannya." Mbak SPBU ngasih selembar duit lima ribuan ke gue yang langsung gue ambil kemudian gue kabur dari sana. Takut keburu ditimpukin sendal sama ibu-ibu tadi.

Di jalan, gue meneruskan aktivitas berpikir gue yang sempet tertunda, yaitu bagaimana caranya meluluhkan hati Nathan demi penyelidikan kertas keramat a.k.a jimat. Lampu merah yang berdiri kokoh di pertigaan jalan gue perhatiin. Bagus, perjalanan ke rumah Nathan tinggal setengah jalan lagi, tapi gue tetep gak ada ide.

Pas banget gue lagi nunggu lampu merah, ada segerombolan anak SMA nyebrang jalan sambil bawa alat-alat gambar.

Bingo.

Ujung bibir gue tertarik membentuk senyuman saat sebuah ide muncul di benak gue. Nathan gak bakal bisa nolak.

Lampu lalu lintas menghijau, gue langsung tancap gas menuju rumah Nathan, melewati jalan kecil yang ditutupi pepohonan rimbun. Menyusuri tanjakan, turunan, jembatan, dan menyebrangi sungai. Kalau dipikir-pikir rumah Nathan jauh juga. Bisa-bisanya kemaren gue jalan kaki. Soalnya busway ataupun angkot gabisa masuk, jalanannya terlalu sempit.

Gue bersyukur jatah uang bulanan dari papa akhirnya turun. Setelah menunggu berabad-abad lamanya. Jadi gak perlu lagi jadi bolang.

Motor gue berhenti di depan pagar kayu, menghadap rumah tua milik keluarga Nathan. Karena rumah ini gak punya bel, gue alhasil manggil Nathan pake telepon. Sambil mendengarkan nada sambung, gue turun dari atas motor, berbarengan dengan munculnya suara dehaman setengah hati yang membuka pembicaraan.

"Hm?"

"Selamat siang, om swastiastu--"

"Gue tutup teleponnya, ya."

To be With U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang