File 19

89 19 18
                                    

"BUAHAHA LO BERDUA NAPA PAKE DASTER?"

Baru aja dateng, gue sama Rama udah dijadiin bahan candaan. Tapi, mau gimana lagi? ibu-ibu nastar maksa kita pake baju ini, katanya biar aman. Dan...kita berdua hanya bisa pasrah. Karena perintah emak-emak adalah mutlak hukumnya dan konon kabarnya kalau tidak patuh akan terkena karma. We are anti malin kundang club.

"Tapi cocok..." Mas Putra nahan tawa. Mana Dehan ngevideoin kita.

Jangan pukul, jangan pukul, jangan pukul, doktrin gue pada diri sendiri biar gak melayangkan tangan ini ke muka mereka. Rama juga daritadi sibuk mengelus-elus dada.

"Jadi, gimana? penggeledahannya udah selesai," tanya gue sambil melepas daster lengkap sama kerudungnya, "Masalah mobil yaris, siapa yang urus?"

"Tenang, divisi gue banyak pasukannya. Kita ngebagi tugas; ada yang ngejar yaris dan ada yang inspeksi ke klinik ini. Tadinya sih semuanya difokusin ke mobil yaris, tapi Pak Yang-yang khawatir sama kalian, jadi ada beberapa yang diutus ke sini. Terus, soal penggeledahan...." Mas Putra membalikkan badannya, menghadap klinik.

Di sana, rekan-rekan Mas Putra lagi mengemasi barang bukti yang digunakan untuk praktek aborsi sedangkan para polisi meringkus semua pekerja klinik-mulai dari perawat sampai penjaga. Tinggal satu orang, yang terdiam dengan anggunnya di dekat pintu. Tangannya diborgol dan dikawal oleh banyak polisi. Dia...seorang dokter.

"Kenalin, Wendy, si spesialis aborsi." Mas Putra memberitahu gue nama dokter itu. Seperti terpanggil, Wendy menatap gue lalu tersenyum manis. Orang ini sama sekali tidak merasa bersalah, dia tetap berdiri tegak layaknya tuan putri, "Yah, semoga proses interogasi hari ini gak bikin gue darah tinggi."

Mas Putra melempar tatapan benci padanya.

"Kita gak boleh kalah," ucap gue dingin.

"Pasti."

Pintu mobil dibukakan untuk wanita itu. Siapa sangka, dia malah tertawa ceria, "Wah, wah kerja bagus semuanya."

Gara-gara tingkahnya yang kelewat percaya diri, Jeremi jadi terbakar emosi, "Tutup mulut lo!"

"Siapa itu?" Wendy melirik Jeremi, masih dengan ekspresi riang, "Imutnya, tapi sayang....kamu marah ke orang yang salah."

"Apa-lo bilang?"

"Tolong masuk, bu dokter." Petugas polisi yang paling dekat dengan sang dokter, memerintahnya untuk cepat-cepat memasuki mobil.

"Sayang banget, padahal ada yang mau saya omongin."

Mas Putra berjalan ke arah Wendy, "Kalau mau ngomong, nanti aja di kantor polisi."

"Kalian mencari anak itu, kan?"

"Wah? anda lagi ngasih ancaman?"

"Jangan salah paham, dong. Saya justru enggak tau keberadaannya ada dimana karena saya enggak ada hubungannya sama penculikan itu. Saya cuma melakukan apa yang saya bisa untuk dia, tentunya sebagai spesialis. Tapi, ada sesuatu yang kalian lewatkan." Wendy memajukan tubuhnya, "Cecil."

Nama itu,.gue menelan ludah, dia yang berkirim email sama gue barusan.

Jangan bilang-

"Kalau saya liatin, gak ada Cecil di sini. Tolong cepat tangkap dia."

Semua detektif dan polisi langsung ribut. Mereka ketar-ketir mengecek semua identitas pekerja dan bener aja, gak ada yang bernama Cecil.

"Semuanya tenang. Saya akan mengirim divisi lain untuk mencari orang itu. Kalian fokus saja dengan pekerjaan kalian sekarang." Seorang pria berkumis tebal tiba-tiba muncul, menenangkan suasana.

To be With U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang