File 14

92 20 27
                                    

Gue turun dari motor, berdiri canggung menghadap rumah kuno bertuliskan Jasa Pemandu Roh. Enggak seperti hari-hari biasanya, gue dateng ke sini bukan untuk menjalankan tugas sebagai asisten dukun ataupun sekedar nganterin Nathan pulang ke rumahnya. Tapi, Mbak Arumi selaku pemilik rumah memanggil gue ke sini dengan alasan, ada hal penting yang mau diomongin.

Entahlah, gue gugup setengah mati. Dari cara bicaranya di telepon barusan, gue merasa Mbak Arumi marah besar. Kesalahan apa yang udah lo perbuat, Van? Mikirinnya aja bikin gue keringet dingin. Dan wanita berambut panjang itu kini sedang duduk di depan teras, menunggu kedatangan gue juga Nathan, anak semata wayangnya.

"Baguslah, kalian ke sini tepat waktu." Mbak Arumi melipat tangan di depan dada, "Ada yang mau saya tanyain ke kalian, terutama kamu, Nathan."

Nathan gak membalas, membiarkan mamanya memperjelas kalimat yang terlontar tadi.

"Ini tentang Bu Retno." Perkataan singkat itu, membuat gue dan Nathan memandang satu sama lain, "Kalian masih terlibat, kan?"

Kita berdua terdiam, gak ada yang berani menjawab. Tenggelam dalam pikiran masing-masing, dari mana Mbak Arumi tau?

"Mama udah memperingati kamu, ritual pemanggilan di rumah Bu Retno gagal, iya kan? kalau udah gagal harusnya jangan dilanjutin. Kenapa kamu keras kepala!"

"Aku—"

"Ada batasan di mana kamu harus berhenti. Itu peraturan yang udah kita sepakati bersama. Kenapa kamu malah lanjut menyelidikinya tanpa sepengetahuan mama!" Intonasi Mbak Arumi meninggi, "Emang seharusnya dari awal kita enggak membantu wanita itu."

"Bu Retno selama ini menderita harus kehilangan anaknya," seru Nathan dengan tangan terkepal.

"Kenapa kamu jadi ngelawan?" Mbak Arumi mengacungkan jari telunjuknya, "Denger, ya. Ini juga demi kebaikan kamu! orang yang kamu hadapi itu emangnya sebodoh apa? kamu harus mikirin resiko terburuknya."

Kata-kata Mbak Arumi bagai menampar gue. Gue langsung tersadar.

Kita terlalu santai, padahal dalang kasus kali ini punya pengaruh yang begitu kuat. Buktinya, nyawa Nathan hampir melayang, Jeremi juga saat itu diserang karena gak ada gue di sana.

Kita nyari bukti secara terpencar, sesuka hati, tanpa ada rencana dan jaminan untuk saling melindungi. Kita cuma mikirin hasil, bukan keselamatan bersama.

Setelah ini apa? gue gak bisa membaca gerakan musuh dengan baik...

Skak mat.

Nathan mau membalas lagi, namun gue menengahinya, "Maaf, ini salah saya, saya yang menyeret Nathan ke dalam kasus yang lagi saya selidiki. Saya harusnya tau batasan."

"Van..."

"Saat ini, saya memerlukan Nathan karena ada nyawa yang harus diselamatkan—"

Mbak Arumi mendekat dan secara gak terduga menarik kerah gue—mencengkram erat dengan penuh emosi, "Jangan seenaknya! kamu pikir, kamu bisa menukarnya dengan nyawa orang-orang yang ada di sekitar kamu? apalagi nyawa anak saya!"

Bola mata wanita itu berkaca-kaca. Mbak Arumi...

Wanita ini bukannya marah, tapi dia ketakutan.

Iya juga....Mbak Arumi adalah seorang ibu pada umumnya, yang gak mau anaknya masuk ke dalam situasi berbahaya. Nah, di saat begini, apa pilihan lo?

"Saya....saya bakal melepaskan Nathan." Gue melanjutkannya, "Mbak gak perlu khawatir lagi."

"Van, lo ini ngomong apaan, sih?"

To be With U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang