File 7

120 23 20
                                    

sumimasen, aku telat

==========

"Van, dia.."

Atmosfer berubah drastis ketika pria yang disebut-sebut sebagai suami oleh Bu Wanda menghentikan langkah kakinya. Dia berdiri di samping sang istri, dibalut senyum karismatik yang ngebuat gue tercenung. Postur tubuhnya tinggi menjulang dan memiliki bola mata hitam yang mengintimidasi. Nyali gue menciut, bersanding sama dia. Bukan persoalan segi fisik aja, tapi pria ini terus memancarkan aura kuat seperti ingin menelan siapa pun yang ada di sekelilingnya. Nathan bersembunyi di belakang, menarik ujung baju gue.

Kita berdua kalah telak.

"Barang apa yang jatuh? pasti berharga. Beneran enggak usah dicari?" Membutuhkan kepastian, Bu Wanda mengulang pertanyaannya. Jawaban Nathan berupa gelengan kepala, masih dengan pipi yang basah karena air mata, "Kalian gak berantem gara-gara ini, kan?"

Bu Wanda menaikkan alis, mencurigai gue.

"Ehm," Gue merangkul pundak Nathan, sok akrab, "Dia emang suka ngeluarin air mata kalau kena cahaya matahari. Ya, gak?"

Ujung sepatu gue terinjak Nathan. Gue tambah merapatkan diri, membisikkan sesuatu, "Iyain."

"...iya," ucap Nathan terpaksa.

"Saya...bantu....dapat." Suami Bu Wanda mengeluarkan suara kemudian bingung sendiri, "Eh, chigau ka? (aku salah-ngomong?)"

Bu Wanda terkekeh pelan, "Maaf ya, suami saya agak susah bicara Bahasa Indonesia. Kalian paham maksudnya, kan?"

"Ee...yoku wakarimashita. Demo, hontou ni daijoubu desu (iya, saya paham kok. Tapi, kita beneran gak apa-apa)"

"Chotto bikurishita. Nihon go ga sugoku jouzu desu ne (saya agak kaget. Bahasa Jepangmu jago banget, ya)"

"Iie, mada-mada desu. Saya masih belajar."

Pria itu berbicara sama gue, namun pandangannya terpaku pada Nathan-menunjukkan ketertarikan.

"Yasudah lain kali hati-hati. Ngomong-ngomong apa yang kalian lakukan di tempat ini?" Bu Wanda melanjutkan interogasi yang gue kira udah berakhir."Mau menguji rumor?"

Gue gelagapan. Wanita itu tepat sasaran.

"Saya tau kalian penasaran." Ia terkekeh pelan lagi, "Rumor itu tidak ada. Dua hari lalu anak jurusan lain dateng ke sini juga buat pembuktian dan...gak terjadi sesuatu. Anaknya masih sering hadir di kampus. Sehat wal'afiat. Lebih baik kalian jangan termakan isu. Saya termasuk orang yang sering ke sini soalnya."

Bu Wanda memiringkan kepalanya, "Gerbang yang ada di depan sana, cuma gerbang biasa yang membatasi lahan perkebunan milik organisasi saya. Gak berkaitan sama hal mistis."

"Dua anak yang menghilang, bagaimana?" Nathan mengungkit kasus menghilangnya dua mahasiswi, lalu menoleh ke danau, "Gak ada kaitannya?"

Bu Wanda menggeleng seraya tersenyum manis, "Soal itu pihak kampus yang ngurus, malah...kami sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Sayang sekali nasib baik belum terlihat. Kita berdoa yang terbaik aja."

Nathan menggosok-gosokkan telapak tangan, beradu tatap dengan Suami Bu Wanda.

"Masahiko, kenapa?"

"Nandemonai, matanya...cantik." Pujian terlontar, mengungkapkan isi hati pria berdarah Jepang itu. Nadanya bernuansa tajam.

Balasan yang didapat bukan ucapan terima kasih, melainkan gelagat risih. Tanpa sepatah dua patah kata, Nathan pergi.

"Maaf, kita permisi dulu." Gue membungkukkan badan tiga puluh derajat, mengangkat kepala, dan berlari mengejar Nathan, "Woi, seenggaknya ngomong sesuatu dulu kek sebelum kabur."

To be With U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang