File 22

67 13 15
                                    

"Alo, I'm back. Kalian udahan ngobrolnya," tanya Tante Linda yang muncul saat sesi diskusi antara gue dan Mbak Arumi berakhir tanpa kejelasan, kemudian duduk di pinggiran saung. Berbeda dengan sebelumnya, kini Tante Linda tampil dengan polesan make up tipis yang keliatan jauh lebih seger—meskipun matanya masih agak sembab, sisa-sisa abis nangis barusan.

"Kamu ke mana aja, Lin? lama amat."

"Tadi aku gak sengaja nemu spot keren, terus foto-foto dulu di sana." Rambut panjang bergelombang milik Tante Linda disibakkan. Tinggal pake kacamata item aja biar makin kece.

"Gak usah sok keren. Inget umur."

"Akui aja, aku tuh emang keren natural. Lagian tadi kalian abis bahas hal penting, kan? Maaf, maaf aja aku gak mau dinyamukin. Mending keliling deh." Tante Linda menggeser posisi duduknya lalu memanggil gue, "Van, tante baru inget. Dehan sama yang lainnya belom neleponin kamu?"

"Kayaknya belom." Gue mengecek handphone, gak ada notifikasi apalagi missed call dari ketiga manusia itu.

"Coba telepon, suruh mereka ke sini. Kita harus makan! Enaknya pesen apa aja, ya. Kamu mau pesen apa, Arumi?"

"Enggak Lin, aku mau pulang," tolak Mbak Arumi sambil berdiri.

"Eh? Makan dulu lah. Cepet banget udah mau pulang."

"Aku enggak bisa ninggalin Natsuki terlalu lama."

"Natsuki kan udah gede. Ada Tomochika juga yang jagain."

"Tetep aja rasanya gak tenang. Natsuki itu suka lupa makan kalo enggak diawasin." Mbak Arumi mengelus-elus pundak Tante Linda, "Kapan-kapan lagi, ya."

"Yaudah deh...pokoknya kamu harus mampir ke rumahku kalo ada waktu, sekalian mampir ke makamnya Eiji."

"Iya, nanti aku ke sana."

Kalian pernah liat emak-emak arisan yang mau pamit undur diri ke sesamanya, gak? pasti ada satu ritual wajib dan tidak boleh terlewatkan. Iya, ritual yang gue maksud itu....kiss left-kiss right a.k.a cipika cipiki.

"Titip salam buat Tomochika sama Natsuki, ya."

"Oke! oh iya, Vano." Selesai cipika cipiki, Mbak Arumi menyodorkan tangannya ke gue, "Saya...udah membulatkan tekad. Benar kata kamu, orang itu enggak bisa dibiarin. Semakin dia kuat, rasa hausnya untuk menguasai dan menghancurkan seseorang akan semakin besar juga. Kita harus mencegahnya agar tidak terjadi hal-hal yang lebih merugikan."

Kita berdua bertatapan. Sesuai dengan perkataan Mbak Arumi barusan, tekadnya udah bulat. Dari sorot matanya gue bisa menangkap kode itu, "Intinya, tawaran kamu, saya menerimanya. Ayo bekerja sama. Tapi....saya punya satu permintaan."

"Permintaan?"

"Tolong lindungi saya sama Nathan."

Kalau menyangkut urusan seperti ini, gue lumayan percaya diri. Ada Mas Putra dan rekan-rekannya yang bisa diandalin. Makanya tanpa ragu, gue menjabat tangan Mbak Arumi, "Jangan khawatir. Kalian bakalan aman sampai semua ini selesai."

"Bagus deh. Besok saya kembali ke Jakarta. Kalau kamu enggak keberatan, saya mau kita bertemu lagi untuk membahas hal ini lebih lanjut. Silahkan tentukan titik kumpulnya."

Gue memberi tau lokasi yang aman untuk bertemu lalu Mbak Arumi langsung menyetujuinya lewat anggukan tegas.

.

.

.

.

"Gue kekenyangan!" Rama ngusap-ngusap perut sambil ngerebahin tubuhnya di atas sofa ruang tamu, entahlah bagian mananya yang bikin emosi, pokoknya kehadiran bocah tengil itu mengundang sentilan kenceng nan nyaring dari Bagas. Gak tanggung-tanggung, Rama langsung digusur paksa sama sepupu gue yang super galak itu, dengan cara; kaki diseret sampe jatoh ke lantai, "Woeh! Bagas, begini ya cara lo nyambut tamu!?"

To be With U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang