Vengeance (2)

95 13 15
                                    

⚠️hampir nembus 4k words, awas sepet matanya
.
.
.
.

Hal yang pertama kali gue liat begitu terbangun adalah sebuah ruangan dengan dinding yang menguning, lantai yang pecah-pecah dan berdebu, juga satu buah televisi yang terpajang di tengah ruangan dengan posisi menempel di dinding. Pemandangan ini...jauh berbeda sama apa yang gue liat sebelum kehilangan kesadaran.

Gue telah berpindah tempat, bukan lagi di rumah kecil sederhana-tempat terjadinya perkelahian melawan konco-konconya Inoue-namun, gue pun masih memutar otak untuk memahami tempat apa ini. Diliat dari struktur ruangannya, intuisi gue berkata kalau tempat ini adalah hotel, hotel mangkrak yang pembangunannya cuma setengah jalan terus ditinggalin begitu aja.

Tapi, kenapa ada televisi yang keliatan masih baru?

Dan...kayaknya kita kalah, ya?

"Ukh." Gue merintih, merasakan perih yang luar biasa akibat terkena pukulan balok kayu. Selain itu, darah yang setengah mengering ngebuat wajah dan leher gue terasa lengket.

Hebat juga lo, Van...masih bisa bertahan hidup. Gue tertawa mengejek lalu merayap di atas lantai. Walaupun belom sepenuhnya sadar, gue tetep berusaha keras untuk berdiri kemudian mengitari ruangan sambil terpincang-pincang, mencari jalur melarikan diri.

Wah, yang bener aja...

Di sini nggak ada apa-apa, enggak ada barang-barang yang berguna, pintunya juga kekunci. Lebih apesnya lagi, ini lantai tiga. Gue gak bisa main loncat aja ke bawah. Bukannya bebas, yang ada...gue auto beda dunia.

"Argh, Masahiko bajingan," gumam gue, memukul jendela.

Andaikan ada tali atau benda panjang yang bisa mengantarkan gue ke bawah....pasti urusannya bakal lebih gampang.

Enggak...

Andaikan tadi gue lebih serius, pasti gak akan begini ujungnya. Gue terlalu bergantung sama Mas Putra dan Mas Gilang, mengira mereka bisa meng-handle semuanya. Pada kenyataannya, kita kalah.

Terbangun di tempat seperti ini udah cukup membuktikan kalau kita kalah.

"Ck, padahal dikit lagi, tuh," keluh gue, "Kenapa pula gue gak berkutik? padahal kan bisa aja ngebius dari jarak sedeket itu..."

Gue menjadikan dinding ruangan sebagai tempat bersandar, "Ah, payah."

Sambil menggumam-gumam gak jelas, gue memikirkan nasib Mas Putra, Mas Gilang, dan Jeremi.

Kira-kira...mereka ada di mana, ya?

Terus...apa ritualnya gagal juga?

Duk, duk!

Gue tersentak, mendengar bunyi pukulan yang tepat di deket telinga. Asalnya dari ruangan sebelah.

Duk, duk!

Sekali lagi bunyi itu kedengeran, dibarengi suara seseorang, "Halo, ada orang di sana, gak?"

Alih-alih ngebales, gue memutuskan untuk diem selama beberapa saat. Bukannya bermaksud jutek, tapi otak ini keburu sibuk mengidentifikasi pemilik suara tersebut.

Dari gaya bicaranya.

"Yah sepi..."

Dari warna suaranya.

"Ayolah...siapapun itu, keluarin gue dari sini dong..."

Gue mengenalnya.

"Ini...Jere, ya?"

"Eh-Vano? lo Vano, kan!"

"Iya.."

"Aaaaa, Vanooo! akhirnya!" Bener, ini Jeremi. Gak ada lagi orang yang seheboh dia.

To be With U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang